Polkam, Jakarta - Menjaga netralitas di tengah perang, khususnya
perang di laut, menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Salah satu
tantangan yang dibahas adalah bagaimana sebuah negara dapat tetap menjalankan
prinsip kemanusiaan tanpa kehilangan status netral atau dianggap ikut terlibat
(belligerent).
Isu tersebut mengemuka dalam Diskusi Panel “Hak dan Kewajiban
Negara Netral dalam Perang Laut Skala Besar: Perspektif Kebijakan, Operasional,
dan Kemanusiaan” yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan (Kemenko Polkam) bekerja sama dengan Komite Internasional Palang Merah
(ICRC) dan Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Rabu (15/10/2025).
Asisten Deputi Koordinasi Kerja Sama Multilateral Kemenko
Polkam, Adi Winarso, mengatakan bahwa selama ini pembahasan hukum humaniter
internasional cenderung berfokus pada konteks perang di darat. Padahal,
perkembangan situasi global seperti konflik Rusia–Ukraina menimbulkan kebutuhan
baru untuk memahami bagaimana prinsip kenetralan diterapkan dalam konteks
perang laut.
“Pertanyaan yang kami coba jawab adalah bagaimana sebuah negara
bisa menjaga netralitasnya meskipun ingin memberikan bantuan kemanusiaan, tanpa
dianggap berpihak,” ujar Adi.
Ia menambahkan, status kenetralan di laut kerap menimbulkan
interpretasi yang beragam. Karena itu, diskusi ini juga menyoroti siapa yang
berwenang menentukan sah atau tidaknya klaim netralitas sebuah negara, serta
bagaimana posisi negara yang memiliki pakta pertahanan dengan pihak yang
berperang.
“Kadang ada perbedaan pandangan antarnegara mengenai apa yang
disebut netral. Nah, siapa yang berhak menilai bahwa pandangan satu negara
benar atau salah? Ini yang ingin kita bahas secara lebih mendalam,” jelasnya.
Hasil dari pembahasan ini akan dirumuskan dalam bentuk laporan
yang akan disampaikan pada forum ICRC di Jenewa dan menjadi masukan bagi
pembahasan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Diskusi panel ini merupakan bagian dari rangkaian Lokakarya Nasional bertema “Negara Netral Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Instrumen Lainnya” yang dibuka sehari sebelumnya oleh Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenko Polkam, Duta Besar Mohammad K. Koba, bersama Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, dan diikuti oleh perwakilan pemerintah, lembaga pertahanan, serta kalangan akademisi.
*Kemenko Polkam RI/BINs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar