"Kamu tidak akan
meninggalkan saya kan mangil?", tanya sang mantan presiden berucap sambil
matanya merah menahan tangis.
"Pak saya mau melapor, saya
di tugaskan kembali ke kesatuan pak", sedikit terbata menahan haru Mangil
Martowidjojo melihat orang yang dulu begitu berkuasa, sekarang seperti rapuh
dan sendiri.
"Jaga diri diri bapak
ya", Mangil seraya undur sembari memberi hormat, setelah itu si Bung
menghampiri dan memeluk Mangil sambil menangis dan Mangil pun tak kuasa menahan
air matanya.
Saat itu hanya mereka berdua di
ruang tidur bung Karno di Wisma Yaso.
Cuplikan kisah di atas seperti
di tutur Mangil Martowidjojo mantan komandan Detasmen Kawal Pribadi
Siapa Mangil Martowidjojo?
Ketika Gerakan 30 September 1965
meletus, Mangil makin rapat menjaga Soekarno. Saat itu kondisi memanas di
mana-mana. Perseteruan antara pasukan Jenderal Soeharto dan PKI terjadi di
mana-mana. Setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, kekuasaan
Soekarno terus dipreteli. Soekarno memang masih presiden, tapi kekuasaan sudah
dipegang Mayjen Soeharto.
Dalam buku Gerakan 30 September,
Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour,
keteguhan Mangil tampak saat dia harus menerobos barikade RPKAD di Medan
Merdeka Barat. Tanggal 18 Maret 1966, Soekarno akan berangkat ke Istana Bogor.
Tapi dicegat sepasukan RPKAD yang dipimpin seorang kapten di dekat Air Mancur,
Jl Medan Merdeka Barat.
"Bapak berada di mobil
nomor dua, paling depan jip DKP, nomor tiga mobil yang saya naiki dan ditutup
oleh jip DKP. Begitu konvoi berhenti, sesuai prosedur, semua anak buah saya
langsung berhenti melindungi mobil bapak sambil melepas kunci pengaman
senjata," kata Mangil.
Saat itu DKP bersenjatakan
senapan otomatis AR-15 yang lebih canggih dari AK-47 yang dibawa RPKAD. Mangil
tak takut menembak jika keselamatan Soekarno terancam.
"Stop, ini rombongan siapa?
teriak kapten RPKAD itu.
Mangil menjawab tegas.
"Kalau Kapten melihat bendera di mobil kedua, sebagai perwira ABRI
harusnya tahu. Ini konvoi resmi Presiden Republik Indonesia."
"Tetap harus
diperiksa," balas kapten berbaret merah itu.
Mangil tak mau kalah.
"Silakan. Tetapi, sebelum kapten bergerak maka kami harus tembak lebih
dulu. Sebab tanggung jawab kami sebagai DKP jelas tidak pernah mengizinkan
perjalanan Presiden RI terhalang," tegas Mangil.
Rombongan akhirnya diperkenankan
lewat, tanpa insiden apa pun.
Tapi Jenderal Soeharto tak
membiarkan insiden itu berlalu begitu saja. Tanggal 23 Maret 1966, Soeharto
membubarkan Tjakrabirawa. Pengawalan Istana diserahkan ke Polisi Militer
Angkatan Darat. Tidak sampai di situ, tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto
membubarkan DKP. Seluruh personel DKP dikembalikan ke Korps Brimob berdasarkan
perintah Panglima Korps Brimob.
Tugas Mangil berakhir. Polisi
gagah berani ini pun berpamitan pada Soekarno di Wisma Yasoo. Soekarno
mengucapkan terima kasih pada para anggota DKP. Soekarno berkata dengan suara
agak keras.
"Mangil mengawal saya sudah
sejak proklamasi kemerdekaan. Mangil pasti tidak akan meninggalkan saya kalau
tidak diperintahkan kesatuannya". Beberapa ajudan setia Bung Karno seperti Maulwi Saelan dari Angkatan Darat bahkan sampai ditahan pasca Gestok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar