Kamis, 25 Mei 2023

Apa yang terjadi ketika kaum Islamis memenangkan kekuasaan di Indonesia?

 

Ilustrasi

Oleh : Nick Kuipers, Garreth Nelis dan Michael Weaver

Selama lebih dari 20 tahun sejak transisi Indonesia menuju demokrasi, para komentator telah membunyikan alarm tentang masuknya Islam ke dalam kehidupan publik. Mendukung kasus mereka adalah pemilihan gubernur 2017 di Jakarta, yang membawa Anies Baswedan ke tampuk kekuasaan menyusul kampanye yang tanpa malu-malu memicu sektarianisme agama untuk keuntungan politik. Namun, orang yang skeptis mengatakan kekhawatiran ini berlebihan. Partai-partai Islam—PKS, PPP, dan PBB—telah memperjuangkan kebijakan konservatif sosial seperti pelarangan dan mandat pakaian keagamaan. Namun mereka tidak pernah mengumpulkan lebih dari 20% suara dalam kontes di seluruh Indonesia.

Sejauh ini, perdebatan ini sebagian besar berpusat pada politik nasional dan provinsi. Tetapi Indonesia adalah negara yang terdesentralisasi di mana pemerintah daerah memiliki wewenang yang sangat besar. Sedikit yang menyangkal bahwa konsentrasi pemilih Islamis yang tinggi ada di banyak kantong di seluruh kepulauan Indonesia. Di sana, politisi agama garis keras sering merebut kekuasaan lokal.

Apakah aturan Islamis di cabang pemerintahan yang lebih rendah ini memengaruhi hubungan antar kelompok agama? Dalam sebuah makalah baru, kami mengevaluasi apa yang terjadi ketika partai politik Islam memenangkan kekuasaan secara lokal. Apakah pemilihan legislator Islam mendorong insiden kekerasan agama, sekaligus meningkatkan ekspresi intoleransi terhadap minoritas agama?

Fokus kami adalah pada perwakilan partisan di DPRD-II selama dua siklus pemilu: 2004–9 dan 2009–14. Kami mengumpulkan dan mendigitalkan hasil pemilu mentah untuk semua kontes lokal tingkat distrik—data yang juga telah kami sediakan untuk umum untuk pertama kalinya. Kami kemudian menggabungkan data ini dengan laporan kekerasan tingkat lokal, serta data survei yang mengukur sikap warga terhadap kelompok minoritas yang dilaporkan sendiri.

Mengukur pengaruh pemilihan legislator Islamis terhadap sikap dan perilaku warga negara pada dasarnya sulit. Kita tidak bisa begitu saja membandingkan kekerasan dan sikap di daerah-daerah di mana kaum Islamis memperoleh lebih banyak atau lebih sedikit suara, karena dua wilayah berbeda dalam sejumlah dimensi lainnya. Secara problematis, salah satu dari dimensi ini mungkin berdampak langsung pada fenomena yang kita minati.

Sebaliknya, kami melihat bagian khusus dari pemilu: di mana seorang kandidat Islamis berhadapan dengan kandidat nasionalis sekuler dalam persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kursi terakhir di daerah pemilihan DPRD-II. Karena peraturan elektoral Indonesia, pemilihan ini diputuskan dengan margin yang sangat tipis—sering kali kurang dari 20 suara. Kami berpendapat bahwa hasil dari perlombaan ketat ini pada dasarnya adalah masalah keberuntungan buta: hasil dari faktor kebetulan seperti cuaca hari pemilihan. Jika benar, membandingkan rata-rata tingkat kekerasan dan intoleransi di tempat-tempat di mana kaum Islamis menang tipis dengan tempat-tempat di mana mereka kalah tipis memberi kita ujian yang dapat diandalkan tentang dampak pemerintahan Islam.

Apa yang kami temukan? Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kekerasan agama cukup jarang terjadi di Indonesia pada kedua siklus pemilu. Relatif sedikit daerah pemilihan yang melihat kekerasan seperti itu selama periode ini. Kami memang mendeteksi beberapa tanda bahwa adanya tambahan Islamis yang memenangkan kantor lokal berkontribusi pada peningkatan kekerasan. Tetapi efeknya kecil dan tidak konsisten, bervariasi tergantung pada kumpulan data yang kami periksa (misalnya, surat kabar atau sensus desa).

Temuan tentang sikap orang juga sedikit. Orang-orang dalam survei ditanya beberapa pertanyaan tentang bagaimana perasaan mereka jika seseorang dari agama yang berbeda pindah ke desa atau lingkungan, menyewa kamar di rumah mereka, membangun tempat ibadah di komunitas mereka, atau diminta untuk menikahi anak atau kerabat dekat mereka. . Memilih kandidat Islamis meningkatkan jumlah responden yang menawarkan jawaban paling tidak toleran untuk setidaknya satu dari pertanyaan ini, namun hanya ada sedikit perubahan dalam tanggapan terhadap pertanyaan individu.

Menariknya, kehadiran seorang Islamis ekstra di kantor lokal membuat responden lebih cenderung memberikan tanggapan intoleran ketika seorang pengamat hadir selama wawancara mereka. Temuan ini menunjukkan kemungkinan bahwa Islamis lokal dapat memperburuk ketegangan agama dengan membuatnya lebih diterima secara sosial untuk mengungkapkan pendapat intoleran tentang minoritas.

Secara keseluruhan, pemilihan legislator Islamis mungkin memiliki dampak yang merugikan, tetapi secara substantif kecil, pada hubungan lokal antara kelompok agama di Indonesia. Representasi legislator Islamis di pemerintah daerah dapat menimbulkan bahaya bagi kontrak sosial pluralis Indonesia yang historis, meskipun tidak pada tingkat yang biasanya diklaim oleh para pencela. Kami harus menyoroti bahwa hasil statistik kami beragam, dan jangka waktu penelitian kami terbatas. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk membangun gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana partai-partai yang menganut ideologi agama garis keras membentuk masyarakat di negara-negara demokrasi muda.

*Makalah aslinya diterbitkan di British Journal of Political Science 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PWI Pusat Persiapan Hari Pers Nasional 2025 di Riau

Jakarta - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat terus mematangkan persiapan menjelang Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang akan berlangsung...