Oleh : Zainal Arifin Emka
Salah satu ungkapan yang sering diulang-ulang dengan nada bangga
oleh mahasiswa yang tengah menjalani studi jurnalistik adalah pernyataan
Napoleon Bonaparte. Tokoh Perancis itu tercatat pernah menyatakan: “Saya
lebih takut pada pena wartawan daripada seribu moncong meriam”.
Dengan segala hormat saya kepada sang tokoh, izinkan saya
menambahkan pernyataan itu dengan mengatakan bahwa pena di tangan wartawan yang
tumpul hati nuraninya, jauh lebih menakutkan daripada sejuta moncong meriam.
Ada apa dengan nurani?
Nurani itu berasal dari bahasa Arab. Artinya cahaya.
Tercerahkan. Orang yang nuraninya tidak mati, hidupnya selalu diterangi cahaya.
Selalu menerima pencerahan. Sedihnya, nurani bisa lemah dan akhirnya mati jika
tak pernah disirami.
Etika jurnalistik dan profesionalisme wartawan merupakan
sandaran bagi setiap individu atau insan pers untuk bisa bekerja dengan baik.
Etika dan sikap profesional kian terasa diperlukan justru pada saat
wartawan telah memiliki kebebasannya untuk mencari, mengumpulkan, dan
menyebarkan informasi.
Jarak Tipis
Kebebasan memang berjarak teramat tipis dengan
kesewenang-wenangan. Kebebasan seringkali mudah mengabaikan. Mengabaikan batas,
mengabaikan ketentuan, mengabaikan perasaan, mengabaikan rambu, dan mengabaikan
nurani.
Karena itu dibutuhkan rasa tanggung jawab
besar bagi siapa saja yang hendak mereguk kebebasan. Dengan kebebasannya,
orang-orang yang bekerja di belakang media massa bisa menjelma teramat perkasa,
adidaya, dan suka tergelincir ke arah sikap adigang adigung adiguna. Lebih-lebih
bagi yang tak terbiasa mendengarkan suara nuraninya.
Secara berkelakar seorang wartawan senior
pernah mengatakan, mass media itu
berwatak laki-laki dan sepenuhnya mewarisi watak laki-laki. Angkuh, tidak
setia, dan maunya menang sendiri. “Itu sebabnya disebut mas media, bukan mbak
media,” selorohnya.
Guyonan wartawan senior itu boleh jadi disampaikan untuk
membungkus suatu pesan yang sebenarnya teramat serius. Haruslah sering
diingatkan bahwa wartawan itu manusia biasa. Ia juga punya potensi untuk
berbuat salah dan melakukan kesalahan.
Maka ketika ada wartawan yang tidak menghormati aturan main
seperti diatur dalam kode etik profesinya, maka pertama-tama kalangan perslah
yang harus menghukumnya.
Kode etik para wartawan di mana pun –mungkin dengan cara
bertutur yang berbeda— selalu menekankan itu. Kode Etik Jurnalistik Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) misalnya, mengunci kode etiknya dalam pasal 16 dengan
pernyataan: Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa pentaatan pada
Kode Etik Jurnalistik terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Saya percaya, masih cukup banyak wartawan dengan nurani
menyala-nyala. Kesadaran seperti itu ada pada wartawan. Karena itulah wartawan
juga punya cukup kerendahan hati untuk selalu menerima kritik, sebagaimana ia
(karena profesinya) terbiasa melancarkan kritik.
Kritik kepada awak pers tak boleh disikapi sebagai niat untuk
membatasi kebebasan. Mempertanyakan apa motif seorang penguasa melancarkan
kritik, sebenarnya hanya mencerminkan sikap keengganan orang pers
menerima kritik. Itulah wujud keangkuhan.
Alangkah lebih bijaknya jika kritik ke alamat pers dilihat
sebagai peringatan agar pers selalu ingat akan tugas utamanya: memberikan
informasi yang bermanfaat sehingga dapat mencerdaskan dan mencerahkan
bangsanya.
Kita masih boleh percaya bahwa setiap pegiat pers adalah orang
yang dengan sadar (bukan kebetulan) memilih profesi ini sebagai ajang untuk
membantu sebanyak mungkin orang. Bukan untuk menghakimi orang lain,
menghancurlan pihak lain. Juga bukan untuk menari-nari dan mengambil manfaat
atas penderitaan orang lain.
Buat apa wartawan bersusah payah berada di tengah bencana gempa
dan gelombang tsunami, atau berada di antara desingan peluru dan ledakan bom
ketika meliput pertempuran? Semuanya tentu saja didedikasikan untuk kepentingan
bangsanya. Agar masyarakat bangsanya memperoleh laporan keadaan yang
sebenarnya, yang akurat, yang berimbang.
Corong Suara
Tuntutan profesilah yang tak membolehkan wartawan puas dengan
hanya mengutip dan melaporkan keterangan dari sumber resmi. Ia dituntut untuk
menguji, mengklarifikasi keterangan itu dari sumber-sumber lain. Bahkan mencari
sudut pandang berbeda.
Wartawan dituntut untuk memberikan corong suara kepada mereka
yang tak bersuara. Mengapa? Sebab sumber informasi resmi dan tidak resmi bisa
saja sama-sama validnya. Wartawan yang bersandar pada etika akan menempatkan
dan memperlakukan sumber, subyek dan koleganya sebagai manusia yang sama-sama
berhak untuk dihormati.
Untuk itulah wartawan berada di dalam arena. Di TKP. Tempat
kejadian perkara. Semuanya untuk kepentingan publik. Sikap profesionalnya juga
menuntut seorang wartawan untuk selalu menguji keakuratan informasi dari semua
sumber dan berhati-hati untuk menghindari kekeliruan. Distorsi informasi secara
sengaja tidak pernah dapat dibenarkan.
Dalam upayanya mencari dan menyebarkan informasi seperti itu,
wartawan juga sadar dapat merugikan atau membuat orang merasa tidak nyaman. Di
situ lagi-lagi wartawan dituntut untuk punya cukup kerendahan hati untuk
mengakui bila berbuat salah.
Mengejar berita bukanlah lisensi untuk bersifat angkuh. Kode
Etik Masyarakat Kewartawanan Profesional Amerika Serikat misalnya,
mengharuskan wartawan menjelaskan dan menjernihkan liputan berita dan
mengundang dialog masyarakat mengenai perilaku jurnalistik.
Wartawan bahkan diharuskan mendorong masyarakat agar menyuarakan
keluhan mereka terhadap berita media yang tidak tepat. Akui kesalahan dan
koreksilah secepat mungkin. Tunjukkan tenggang rasa terhadap mereka yang
terkena dampak berita yang merugikan.
Kita percaya, di tangan wartawan dengan nurani yang terang akan
senantiasa membuat siapapun tenteram. Tak perlu menakutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar