Siapa yang tak kenal Naga Bonar?
Tokoh kocak nan legendaris dalam film besutan Asrul Sani (1987) itu dikenal
suka main angkat pangkat sendiri, bahkan pernah minta gelar Marsekal
Medan-Lubuk Pakam yang jelas-jelas tak ada dalam kamus militer. Adegan ini memang
hanya rekaan, namun ternyata punya jejak nyata dalam sejarah. Di balik layar,
sosok asli yang menginspirasi lahirnya karakter Naga Bonar adalah seorang
laskar Medan bernama Timur Pane.
Bedanya, kalau Naga Bonar hanya
fiksi, Timur Pane benar-benar hidup dan kisahnya jauh lebih liar dari film.
Dari Copet Menjadi Jenderal
Timur Pane bukan keturunan
bangsawan, bukan pula perwira terlatih. Ia hanyalah pedagang sayur sekaligus
pencopet kelas kakap di Medan. Tubuhnya kecil, wajahnya keras dengan rona
kebiruan di bagian bawah, dan sorot matanya terkenal buas. Namun satu hal yang
membuatnya disegani yaitu nyali besar dan keberanian nekat.
Saat Pertempuran Medan Area
pecah, Timur Pane segera menghimpun gerombolannya yang sebagian besar berisi
kriminal jalanan. Dari situlah lahir “Laskar Naga Terbang”, pasukan dadakan
yang menebar rasa takut sekaligus kebanggaan bagi sebagian orang.
Konon, dalam banyak pertempuran,
Timur Pane sendiri turun tangan membantai lawan-lawannya. Cerita kejam itu
justru melambungkan namanya.
“Jenderal Mayor” ala Timur Pane
Entah dari mana datangnya, Timur
Pane tiba-tiba menyematkan pangkat jenderal mayor di depan namanya. Gelar itu
jelas tak resmi, tapi ia percaya pangkat bisa diciptakan asal punya nyali.
Untuk memperkuat kesan, ia menempelkan bendera kuning ala Jepang di
kendaraannya yaitu simbol perwira tinggi zaman pendudukan.
Tak berhenti di situ. Timur Pane
melegalkan pasukan copetnya menjadi Tentara Marsose, lengkap dengan
pangkat-pangkat militer yang dibagi sesuka hati. Ia bahkan mendatangi Gubernur
Muda Sumatra Utara, S.M. Amin, dan menuntut agar pasukannya diakui sebagai
tentara republik. Permintaan tambahannya lebih mencengangkan yaitu anggaran 120
juta gulden per bulan untuk membiayai laskar kriminal itu.
Antara Ditakuti dan Dipermainkan
Gerombolan Timur Pane seringkali
membuat repot Tentara Republik Indonesia (TRI). Mereka bukan hanya melawan
Belanda, tetapi juga kerap melucuti polisi dan tentara republik sendiri. Namun,
karena pengaruhnya besar di Sumatra Timur, para petinggi di Yogyakarta akhirnya
“menyetujui” gelar jenderal mayornya meski hanya sementara. Atas desakan
Residen Sumatra Timur Abu Bakar Jaar, Tentara Marsose pun diakui sebagai bagian
dari Legiun Penggempur.
Namun kejayaan itu singkat. Saat
Belanda melancarkan Agresi Militer I (1947), pasukan Timur Pane justru
kocar-kacir. Padahal sebelumnya ia sesumbar di hadapan Wakil Presiden Mohammad
Hatta bahwa Medan akan direbut kembali olehnya.
Kenyataannya, Legiun Penggempur
bubar, dan Timur Pane kehilangan segala gelar yang ia bangun dengan keangkuhan.
Jenderal Mayor itu runtuh tanpa bekas.
“The Real” Naga Bonar
Kisah Timur Pane adalah potret
unik masa revolusi. Seorang copet yang mendadak jadi jenderal, seorang kriminal
yang berlagak panglima perang. Ia membuktikan bahwa dalam masa genting, pangkat
bisa lahir dari keberanian—atau kenekatan.
Jika Naga Bonar adalah parodi,
maka Timur Pane adalah realitas getirnya. Dan sejarah hanya mengingatnya
sebagai “sang jenderal copet dari Medan”, sosok nyata di balik legenda layar
lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar