Strategi yang
dikenal sebagai China
Plus One ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada China sambil
mendukung visi Washington menjauhkan diri dari ekonomi China.
Namun, kebijakan
tarif Trump edisi kedua justru berbalik arah.
Vietnam dan Kamboja
dikenakan tarif tinggi, masing-masing sebesar 46% dan 49%. Sementara Indonesia
dikenakan 32%, dan Malaysia 24%.
Meskipun ada penundaan penerapan selama 90
hari, negara-negara yang sebelumnya menanggapi seruan AS untuk diversifikasi
sekarang malah dicap "pengelak tarif".
China memanfaatkan momen ini dengan melakukan
"serangan pesona" yang terencana. Dalam kunjungan regionalnya,
Presiden China Xi Jinping mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk
"bersama-sama melawan proteksionisme."
Xi juga menjanjikan
peningkatan impor Indonesia dan membangun citra China sebagai "pembela
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas" di tengah ketidakpastian
global.
"Negara-negara
Asia Tenggara selalu memainkan peran sebagai penyeimbang hubungan AS dan
China," kata Ian Chong, Profesor Madya di National University of
Singapore, kepada BBC.
Chong menambahkan bahwa kini
kawasan ini makin dekat dengan China. Di sisi lain, sikap Trump secara
signifikan merusak kredibilitas AS. Imbasnya, reputasi Xi Jinping meningkat
"tanpa perlu bersusah payah".
"Yang menjadi pertanyaan
adalah: apakah China dapat diandalkan? Negara-negara Asia Tenggara membutuhkan
investasi dan pasar dari China."
"Walaupun Xi Jinping sudah
menjanjikan banyak hal, apakah China benar-benar mampu memenuhinya? Apalagi
mengingat tantangan domestik dan perlambatan ekonomi yang dihadapi negara
itu."
Ketergantungan ekonomi
timbal balik
Dengan populasi sebesar 680 juta
penduduk dan memiliki status sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia, posisi
ASEAN begitu vital dalam rantai pasokan global.
Kawasan ini memproduksi
semikonduktor untuk Intel, ponsel pintar untuk Samsung, dan sepatu olahraga
untuk Nike.
Sejak perang dagang AS-China
yang pertama, ASEAN menarik investasi manufaktur global yang masif.
"Dalam banyak hal, China adalah pesaing
sekaligus mitra ekonomi bagi negara-negara Asia Tenggara," ujar Susannah
Patton, direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Australia.
Antara 2018 hingga
2022, perusahaan-perusahaan AS menyumbang 25% dari investasi manufaktur di
ASEAN, jauh melampaui Jepang (11%) dan Uni Eropa (10%).
Pangsa pasar China
tumbuh dengan cepat tetapi masih di sekitar 8%.
Di sisi lain, para
pakar percaya angka sebenarnya lebih tinggi karena investasi yang disalurkan
melalui Hong Kong dan entitas luar negeri.
Aturan tarif baru AS mengancam
strategi China Plus One sehingga negara-negara ASEAN berupaya
meningkatkan investasi dari China.
Akan tetapi, tantangan ekonomi
yang dihadapi China berpotensi menghambat ekspektasi ini.
Kesulitan yang dialami
perusahaan-perusahaan tenaga surya China telah mengurangi penanaman investasi
luar negeri (outbound investment) ke ASEAN pada 2024 silam, dan masalah
serupa mulai muncul di sektor otomotif dan konsumen.
Beijing bahkan mungkin akan semakin
membatasi investasi asing untuk melindungi lapangan kerja di sektor manufaktur
dalam negeri.
China saat ini tengah mengalami
pertumbuhan ekonomi yang lemah dan peningkatan angka pengangguran.
Langkah diplomasi China
untuk menunjukkan niat Baik
Selain masalah ekonomi,
ketegangan geopolitik tetap menjadi isu laten yang terus membayangi.
"China dan negara-negara
ASEAN adalah tetangga,. Dengan kata lain: saling bergantung, tetapi ada juga
banyak gesekan," jelas Profesor Ian Chong.
Sengketa wilayah masih menjadi
faktor krusial, terutama di Laut China Selatan. Seperti diketahui, klaim tegas
China tumpang tindih dengan klaim Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Di sisi lain, mobilisasi
komunitas etnis Tionghoa di negara-negara ASEAN oleh Beijing juga menimbulkan sensitivitas.
Bagi negara-negara mayoritas
Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, perlakuan China terhadap Muslim Uighur
di Xinjiang menjadi poin pertikaian lainnya.
Risiko meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan dan
Laut China Selatan juga menjadi kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara.
Kedua perairan itu
merupakan jalur perdagangan penting bagi Asia Tenggara. Konflik apa pun di
wilayah ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan berdampak parah pada
ekonomi ASEAN.
"Negara-negara
Asia Tenggara ingin berelasi dengan China tetapi tetap berhati-hati," kata
Chong.
"Mereka sangat
menyadari risiko yang dapat ditimbulkan tindakan militer Beijing terhadap
stabilitas dan kemakmuran mereka."
China menyadari
dinamika regional ini.
Dalam kunjungannya
ke Vietnam, Xi menekankan perjuangan bersama melawan kolonialisme. Tetapi dia
menghindari topik sensitif seperti Perang Sino-Vietnam 1979 atau sengketa yang
sedang berlangsung di Laut China Selatan.
"Dibandingkan
dengan pendekatan garis keras China terhadap Filipina, pendekatannya terhadap
Vietnam relatif lebih akomodatif," kata Carlyle Thayer, Profesor Emeritus
di University of New South Wales, Australia.
Di Kamboja, keseimbangan yang
rumit lainnya terlihat jelas.
Diskusi tentang ekspansi
Pangkalan Angkatan Laut Ream Kamboja yang kontroversial dan didanai oleh China
diminimalisir selama kunjungan Xi.
Perdana Menteri Kamboja Hun
Manet mengadakan upacara peresmian pangkalan tersebut sebelum kedatangan Xi.
Dia menekankan bahwa fasilitas itu tetap berada di bawah kendali Kamboja.
"Langkah yang disengaja ini
menyoroti keinginan China untuk mempertahankan niat baik di kawasan," kata
Thayer.
"Keputusan untuk mengadakan
peresmian sebelum kunjungan Xi patut dicatat. Ini meredakan kekhawatiran
internasional seraya melindungi kepentingan Vietnam."
Pergeseran keseimbangan
regional
Meski terus mendekati
negara-negara tetangganya, China dengan tegas menyatakan "secara kukuh
menentang pihak mana pun yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan
kepentingan China.
Jika ini terjadi, China tidak
akan pernah menerimanya dan akan dengan tegas mengambil tindakan balasan."
Sementara Trump mengatakan bahwa
lebih dari 70 negara telah menghubungi AS untuk memulai negosiasi sejak tarif
diumumkan.
Dengan kata lain, ini adalah situasi
yang menantang bagi banyak negara di Asia Tenggara.
"Vietnam tidak dapat
mencegah pemerintahan Trump yang merusak hukum internasional, perdagangan
bebas, multilateralisme, dan globalisasi," kata Carl Thayer dari
University of New South Wales.
"Vietnam juga tidak dapat
mengubah geografinya."
Profesor Thayer mengatakan bahwa
Vietnam juga harus mencari pasar baru di Timur Tengah dan MERCOSUR—blok ekonomi
regional di Amerika Selatan.
Adapun Malaysia relatif
"menang" karena tingkat tarif relatif lebih rendah yaitu 24%. Situasi
ini membuat Malaysia diminati bisnis-bisnis yang ingin berpindah dari
negara-negara dengan tarif lebih tinggi.
Media sosial China ramai dengan
diskusi tentang relokasi pabrik ke Malaysia. Populasi etnis Tionghoa yang besar
di negara itu dinilai mempermudah transisi bisnis.
Menjaga keseimbangan
Vietnam mempraktikkan apa yang
mereka sebut sebagai "diplomasi bambu."
Istilah ini pertama kali
dicetuskan mantan pemimpin Nguyen Phu Trong pada 2016 untuk menggambarkan
pendekatan Vietnam dalam menyikapi politik kekuatan-kekuatan besar dunia.
Layaknya bambu, Vietnam tetap
teguh pada kepentingan intinya, tetapi lentur ketika menghadapi tekanan dari
dua kekuatan utama: China dan AS.
Pendekatan ini mencerminkan
prinsip "non-blok" ASEAN yang sudah menjadi dasar diplomasi kawasan
ini sejak Perang Dingin.
"Vietnam secara umum berhasil dalam aksi
menjaga keseimbangan ini. 'Diplomasi bambu' mereka menjadi maskot strategi
kehati-hatian Asia," jelas Alexander L. Vuving, profesor di Daniel K.
Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies.
"Namun, tali
yang harus mereka pijak kini terasa semakin tipis untuk dilalui."
Lebih lanjut,
Profesor Vuving menilai Vietnam sadar bahwa akan tiba saatnya dimana mereka
harus berpihak di tengah persaingan kekuatan besar.
"Namun, karena
ini adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Vietnam, mereka tidak pernah
benar-benar mempersiapkan diri. Sekarang, saat itu telah tiba, dan mereka
kaget."
Indonesia pun menghadapi
tantangan serupa meski sampai sekarang masih mempertahankan sikap netral.
Presiden Prabowo Subianto
baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia akan terus berjuang untuk mandiri dan
berkembang, terlepas dari tantangan pasar global.
"Kita tidak akan pernah
mengemis," tegasnya.
Akan tetapi, ketergantungan
ekonomi Indonesia yang terus meningkat ke China memperumit situasinya.
"Sepertinya tidak mungkin
[bagi Indonesia untuk tetap netral]. Pada 2024, impor Indonesia dari China
melonjak 33% dibandingkan tahun sebelumnya," ungkap Bhima Yudhistira,
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
"Ini berarti, apa pun yang
terjadi nanti, Indonesia akan semakin bergantung pada China dan makin dekat
dengan BRICS.'"
Melangkah melampaui
pilihan biner AS-China
Profesor Thayer menyimpulkan
bahwa ada empat strategi umum untuk menghadapi situasi AS-China ini:
penyeimbangan, mengikuti arus, "berjalan di atas tali", dan
netralitas.
Negara-negara dapat beralih di
antara berbagai strategi ini sesuai dengan kepentingan masing-masing
Dia mencontohkan Filipina
sebagai contoh paling menonjol di Asia Tenggara dalam strategi penyeimbangan
kekuatan; negara itu bersekutu dengan AS pada 1951 untuk melindungi diri dari
China yang komunis.
- Mengapa Indonesia ingin bergabung dengan BRICS –
Barisan negara yang 'tidak puas' dengan status quo?
Strategi "mengikuti
arus" adalah ketika negara yang lebih lemah memilih untuk berpihak pada
negara yang lebih kuat untuk menghindari konflik atau dengan harapan
mendapatkan dukungan.
Dengan kedekatan hubungan mereka
dengan China, baik Myanmar, Kamboja, maupun Laos, adalah contoh-contoh tipikal
di Asia Tenggara.
Malaysia dan Vietnam adalah dua
contoh paling menonjol di Asia Tenggara yang telah berhasil menerapkan strategi
"hedging", yaitu ketika negara kecil menjalin hubungan
dengan berbagai kekuatan secara bersamaan untuk menyeimbangkan pengaruh
rival-rival yang lebih besar.
Sementara negara-negara seperti
India dan Indonesia telah mengikuti prinsip non-blok.
ASEAN berusaha untuk menampilkan
front persatuan dalam menghadapi tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan
Trump.
Perdana Menteri Malaysia Anwar
Ibrahim, yang memimpin ASEAN tahun ini, mengatakan bahwa negaranya akan
"memimpin upaya untuk menampilkan front regional yang bersatu" dan
memastikan "suara kolektif ASEAN didengar dengan jelas dan tegas di panggung
internasional."
Dr. Peng Nian, Direktur Pusat
Penelitian Studi Asia di Hong Kong, melihat munculnya strategi yang lebih
bernuansa.
"Negara-negara Asia
Tenggara semakin melihat melampaui pilihan biner AS-China. Mereka
mendiversifikasi kemitraan ekonomi ke arah Eropa dan pasar-pasar lain untuk
mengurangi ketergantungan pada salah satu negara adidaya."
*Sumber BBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar