Oleh : Saifuddin
Direktur
eksekutif LKiS
Penulis
Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan
INI FASE yang tidak mudah, mengingat perang tanding dalam budaya modern kian kencang, menghipnotis berbagai unsur dalam ruang yang sulit untuk diterka dan diraba.
Ini ibarat menjaring semut diatas batu. Sulit,
tetapi harus dilakukan, walau hasilnya tidak maksimal. Kondisi ini diciptakan,
sehingga raung budaya terlihat ada dan tidak musnah pada waktunya.
Shock culture, adalah peristiwa budaya, yang bisa
saja mengubur budaya klasik dengan memaksa budaya modern-kontemporer.
Jean Baudrillard dalam bukunya : The Agony of Power” tentang Dominasi, Hegemoni
dan Teror Dalam buku ini, Jean Baudrillard mengambil celah terakhir pada
situasi membingungkan yang saat ini kita hadapi, yaitu saat kita keluar dari
sistem “dominasi” dan memasuki dunia generalisasi “hegemoni” di mana setiap
orang menjadi sandera dan kaki tangan pasar global.
Ini bisa disebut sebagai kejahatan dalam politik
dengan dominasi tapi menyandera yang lain. Absurd.
Pada market kebebasan politik dan seksual, ketika kemungkinan revolusi (dan
pemahaman kita tentangnya) menghilang, Jean Baudrillard melihat proses
hegemonik sebagai satu-satunya permulaan.
Begitu dikeluarkan, kenegatifan kembali dari dalam
diri kita sebagai kekuatan antagonis—paling jelas dalam fenomena terorisme,
tetapi juga sebagai ironi, ejekan, dan likuidasi simbolis semua nilai
kemanusiaan. Pada fase ini nilai-nilai yang menabur pada skala sosial “jatuh”
dan terkubur karena ambigu. Collaps said ; Dawkins.
Semua itu adalah dimensi hegemoni yang ditandai
oleh sirkulasi tak terkendali—kapital, barang, informasi, atau bangunan
sejarah—yang mengakhiri konsep pertukaran itu sendiri dan mendorong kapital
melampaui batasnya: ke titik di mana ia menghancurkan kondisi keberadaannya
sendiri.
Dalam sistem hegemoni, mereka yang teralienasi,
tertindas, dan terjajah menemukan diri mereka berada di pihak sistem yang
menyandera mereka. Aleinasi (keterasingan) adalah karena dominasi dan hegemoni
pada kelompok tertentu atas yang lainnya. Dan itu tidak fair dalam
demokrasi(isme), sebab ada pengabaian bagi yang lainnya. Konsep kesetaraan
menjadi nisbi.
Pada situasi yang paradoks di mana sejarah telah
berubah menjadi lelucon, dominasi itu sendiri tampak sebagai kejahatan yang
lebih ringan. Tesis ini mengumpulkan tiga esai makalah Jean Baudrillard: “Dari
Dominasi ke Hegemoni”, “Teror Putih Tatanan Dunia”, “Di Mana Kebaikan Tumbuh”,
dan ini adalah sama halnya menterjemahkan ketakutan pada ruang demokrasi dimana
hak-hak itu dijamin oleh negara.
Lebih jauh dari itu, Jean Baudrillard dalam
Simulation (1983) merancang sebuah tesis yang memprediksi realitas pada
akhirnya telah mati. Dunia baru yang Baudrillard sebut sebagai “galaksi
simulacra”, ternyata melanda seluruh aspek kehidupan tidak terkecuali
demokrasi. Galaksi simulakra adalah ; ruang peng-acakan situasi tentang siapa
yang benar, siapa yang salah, siapa yang menang, siapa yang kalah.
Dialektika tentang demokrasi yang
memberikan peluang bagi warga negara untuk bebas mengemukakan pendapat, justru
berujung kebebasan yang menabrak batas-batas hak asasi manusia sesama warga
bangsa. Diam-diam primordialisme diselundupkan melalui simbol-simbol agama,
golongan, suku bangsa, kedaerahan, dan segala pengelompokkan sosial yang
eksklusif. Kondisi itu justru menjadi belenggu baru yang membatasi kehidupan
kebangsaan.
Kembali mengingat cita reformasi yang
diperjuangkan pada 1998 yakni memperjuangkan kebebasan dari sistem tirani dan
represi. Demokrasi seharusnya sudah lebih bersifat substansial ketimbang
prosedural. Sayangnya, proses demokratisasi di Indonesia masih terbatas pada
proses prosedural.
Celakanya, banyak aktor politik yang justru terjebak dan menjustifikasi proses
prosedural ini.
Prinsip-prinsip berdemokrasi, berpolitik,
menyampaikan pendapat dan aspirasi, menjalankan pemerintahan dan lain
sebagainya banyak mengabaikan prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran
substansial. Semua itu dilakukan karena kepentingan pragmatis semata.
Lalu bagaimana nasib demokrasi? di ruang-ruang
publik era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima sekaligus primadona.
Pada konteks ini, reproduksi mesin politik menggunakan bantuan teknologi
informasi, komunikasi. Membangun sebuah industri kuasa pengetahuan. Opini para
kaum intelektual bisa di pesan atau bahkan telah tersedia semacam menu khusus
bagi para elite politik sebagai pemesan.
Sementara pada saat bersamaan, permainan tanda
dan citra mendominasi hampir di seluruh proses komunikasi kehidupan. Termasuk
dalam kehidupan politik dan demokrasi.
Pada sudut pandang masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan
oleh relasi tanda, citra dan kode. Identitas seseorang capres-cawapres
misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Identitas
tersebut bisa di-create sekaligus di rekonstruksi
melalui gimmick, meski silang-sengkarut; tanda, citra dan kode
tersebut tetap menjadi medan magnet yang digemari.
Dengan kata lain, dalam dunia simulasi, bukan
realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan
televisi, iklan di medsos atau bahkan tokoh-tokoh fiksi yang kekorea-koreaan
yang “kiyowo” “gemoy” dilengkapi rekaan melalui animasi dan kartun.
Termasuk dalam methodik cara mengirim pesan
lewat kampanye.
Pada akhirnya manusia mendiami suatu ruang realitas baru, tidak lagi berpijak
pada prinsip demokrasi yang sarat nilai yang cita-citakan pasca reformasi
yang lalu. sehingga perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang
palsu, benar dan salah bedanya sangat tipis sekali.
Dan harus di akui manusia kini hidup dalam ruang khayali yang nyata, sebuah
fiksi yang faktual. Melalui Facebook, Twitter, TikTok, Instagram dan
lainnya bahkan dalam media mainstream, dunia simulasi tampil secara
sempurna.
Narasi kebenaran peristiwa lampau seperti
pelanggaran HAM berat, pengkhianatan terhadap konstitusi dan seluruh
proses-proses hukum menjadi sumir. Maka menjelma-lah ruang yang bernama “pesta
demokrasi” yang abai dari nilai benar, salah, etik atau tidak etik, wajar atau
tidak wajar, pantas atau tidak pantas, semuanya lebur menjadi satu dalam silang
sengkarut tanda. Walau penandanya menjadi bluur karena dominasi dan hegemoni.
Sehingga mungkin ada benarnya nasib demokrasi
itu tak lagi ditentukan ruang dan waktu. Waktu menjadi sesuatu yang nisbi. Ia
bergerak tunduk pada titah pemilik kuasa. Dan bahkan, ada waktu dari nasib,
waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Demokrasi kehilangan
arah, dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya
dengan bebas. Manusia tak lagi menjadi subyek yang merdeka. Ia bisa menjadi
heroik, superior sekaligus culas dan curang, sebagaimana hari ini.
Persoalannya adalah apakah demokrasi masih bisa
diselamatkan? Apa yang akan terjadi setelah pemilu? mungkinkah subyek baru
lahir, subyek yang melawan, yang merdeka, sebagaimana kisah Solon pada masa
hidupnya. Ia berani melawan situasi di tempat ia hidup, merombak kondisi yang
membentuknya, subjek yang terlepas dari posisi objek di bawah sang Kala, tak
lagi tunduk pada simulacra belaka. Ia mampu membendung narasi keputusasaan
wong cilik yang tereduksi dalam hastag saya muak.
Umpatan ini adalah bagian terkecil dari
keputus-asaan, pemberontakan pada dominasi, di saat teror, intimidasi
dikerahkan oleh hegemoni kekuasaan untuk memastikan matinya kebebasan
berpendapat dan menyimpulkan kemenangan yang tak selayaknya.
Rakyat berkata ini curang ; rezim menjawab,
katakan kalah kalau kalah. Sebuah kontradiksi dari simulakra dalam ruang pesta
pora atas nama demokrasi.
“Politik menentukan siapa yang berkuasa, bukan siapa yang memiliki
kebenaran”—Paul Krugman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar