Sabtu, 08 Juli 2023

Implementasi Asas Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono sebagai Metode Hukum Budaya Jawa


Oleh : W.Dimas Hardianto

Pada era reformasi dan otonomi daerah telah memberikan ruang dan kesempatan kepada setiap daerah untuk mengembangkan, melestarikan dan mempertahankan kebudayaan serta mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat, sejarah dan kebudayaannya, selama hal tersebut tidak berlawanan dengan prinsip dasar demokrasi yaitu mekanisme bagi kedaulatan rakyat. Hakikatnya Indonesia terdiri dari beranekaragam tradisi, suku, dan latar belakang kearifan lokal yang berbeda. Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang yang harus dilestarikan sebab kearifan lokal secara implisit merupakan identitas daerah, untuk itu diperlukan upaya untuk mempertahankan, mengembangkan, melestarikan, dan menggunakan nilai-nilai yang ada di dalam kearifan lokal itu sendiri.

Sikap batin yang tepat membawa masyarakat jawa untuk dapat mematuhi, mengamalkan kearifan lokal serta di terapkan berdasarkan nilai yang hidup di dalam kearifan lokal tersebut. Masyarakat Jawa yang memiliki kematangan moral maka senantiasa ia akan memiliki sikap dan budi luhur (yaitu watak-watak utama orang jawa). Bagi orang Jawa budi luhur sangat penting, karena dengan budi luhur seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus memposisikan diri, bersikap tepat pada tempat yang tepat. Prinsip Jawa adalah bagaimana sesuatu itu dilakukan atau dikatakan itulah yang menentukan, seperti ungkapan “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Orang yang berbudi luhur tidak hanya bersikap baik tetapi juga terhadap orang buruk. Sikap baik terhadap semua orang merupakan cermin kepribadian seseorang yang memanusiakan manusia, meskipun manusia tak luput dari kekurangan dan sifat buruk.

Berbicara Kalimat ngono yo ngono ning ojo ngono, apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesa menjadi “Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu”. Kalau kita perhatikan sekilas kata tersebut terkesan membingungkan dan aneh serta tanpa makna. Tetapi untuk masyarakat jawa sangat memahami benar filosofi sindiran tersebut.

Konsep asas ngono yo ngono tapi ojo ngono bukan tanpa sebab sebagai implementasi penyelesaian permasalahan, karena prinsip yang terkandung dalam filosofi tersebut oleh masyarakat jawa dipercayai bahwa memilih jalan “sederhana”, yaitu “seni meletakkan diri”, ambil posisi terlalu ringan dan terlalu berat, terlalu besar dan terlalu kecil. Hanya munculnya sebagai pesan terlalu berkesan “menghindari” dan seperti jalan memutar, seperti dalam filosofi ngono yo ngono ning ojo ngono yang diartikan silahkan demikian tetapi jangan begitu terlalu”. Secara positif juga diartikan jaga keseimbangan, maka semua masalah selesai. Hal ini tepat jika kita kaitkan dalam penyelesaian konflik maupun masalah dengan hukum nasional yang terkesan menang dan kalah, memaksa, tidak adil, dan lebih berpihak kepada penguasa. Dengan mengimplementasikan filosofi tersebut, harapannya akan mengembalikan esensi hukum sebagai sarana untuk menjaga tatanan dan keharmonisan di dalam masyarakat dan melindungi setiap kepentingan yang ada di dalamnya.

Implementasi terhadap nilai kearifan lokal asas ngono yo ngono ning ojo ngono sangat penting untuk perkembangan keilmuan dan menelaah hubungan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat (hukum yang hidup di masyarakat berdasarkan nilai yang berkembang di dalamnya) sebagai solusi untuk menyelesaikan perselisihan di masyarakat adat, khususnya masyarakat Jawa. Bagi masyarakat ditiap-tiap daerah yang masih berpegang pada aturan-aturan adat, penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih menjamin keadilan dan lebih memiliki kekuatan nilai dibandingkan hukum nasional yang cenderung berpihak.

Asas ngono yo ngono ning ojo ngono diimplementasikan dalam penyelesaian perselisihan di masyarakat Jawa, hal tersebut menjadi asas, norma, serta semangat untuk menjiwai. Misalnya di negara semua produk hukum dan konflik di selesaikan dengan menjiwai pancasila, namun apabila di masyarakat jawa menggunakan asas ngono yo ngono ning ojo ngono sebagai penjiwaan untuk menyelesaikan setiap permasalahan ketika masyarakat terdapat gesekan. Atribut-atribut formal kekuasaan juga dijiwai dengan asas ngono yo ngono ning ojo ngono di tingkat desa.

Bentuk implementasi asas ngono yo ngono ning ojo ngono yaitu menyelesaikan perselisihan antar masyarakat di Jawa salah satu istilah yang dapat disebut kekeluargaan. Pada saat menghadapi permasalahan setiap pihak yang mempunyai masalah dituntut untuk positioning dalam artian anda siapa, saya siapa, permasalahannya apa, sehingga lebih kompleks dan tidak selalu merujuk ke regulasi, dan Masyarakat Jawa cenderung menyelesaikan permasalahan dengan menerapkan asas ngono yo ngono tapi ojo ngono. Seperti di Minangkabau ada istilah basilang kayu dalam tungkumangko api ka hiduik ( Yang artinya tiap persoalan pasti ada jalan keluarnya dan tidak perlu dilebih lebihkan ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polres Tangsel Bersama Bea Dan Cukai Sita 642 Kg Ganja, 7,8 Kg Sabu dan 1,1 Kg MDMA, Ungkap Penyalahgunaan Narkotika

Tangsel - Dalam dua bulan terakhir satuan reserse narkoba (Sat Res Narkoba) Polres Tangerang Selatan berhasil mengungkap perkara menonjol te...