Pada era reformasi dan otonomi daerah telah memberikan ruang dan kesempatan
kepada setiap daerah untuk mengembangkan, melestarikan dan mempertahankan
kebudayaan serta mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam
masyarakat, sejarah dan kebudayaannya, selama hal tersebut tidak berlawanan
dengan prinsip dasar demokrasi yaitu mekanisme bagi kedaulatan rakyat.
Hakikatnya Indonesia terdiri dari beranekaragam tradisi, suku, dan latar
belakang kearifan lokal yang berbeda. Kearifan lokal merupakan warisan nenek
moyang yang harus dilestarikan sebab kearifan lokal secara implisit merupakan
identitas daerah, untuk itu diperlukan upaya untuk mempertahankan,
mengembangkan, melestarikan, dan menggunakan nilai-nilai yang ada di dalam
kearifan lokal itu sendiri.
Sikap batin yang tepat membawa masyarakat jawa untuk dapat mematuhi,
mengamalkan kearifan lokal serta di terapkan berdasarkan nilai yang hidup di
dalam kearifan lokal tersebut. Masyarakat Jawa yang memiliki kematangan moral
maka senantiasa ia akan memiliki sikap dan budi luhur (yaitu watak-watak utama
orang jawa). Bagi orang Jawa budi luhur sangat penting, karena dengan budi
luhur seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus memposisikan diri, bersikap
tepat pada tempat yang tepat. Prinsip Jawa adalah bagaimana sesuatu itu
dilakukan atau dikatakan itulah yang menentukan, seperti ungkapan “ngono yo
ngono ning ojo ngono”. Orang yang berbudi luhur tidak hanya bersikap baik
tetapi juga terhadap orang buruk. Sikap baik terhadap semua orang merupakan
cermin kepribadian seseorang yang memanusiakan manusia, meskipun manusia tak
luput dari kekurangan dan sifat buruk.
Berbicara Kalimat ngono yo ngono ning ojo ngono, apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesa menjadi “Begitu ya begitu, tetapi jangan
begitu”. Kalau kita perhatikan sekilas kata tersebut terkesan membingungkan dan
aneh serta tanpa makna. Tetapi untuk masyarakat jawa sangat memahami benar
filosofi sindiran tersebut.
Konsep asas ngono yo ngono tapi ojo ngono bukan tanpa sebab sebagai
implementasi penyelesaian permasalahan, karena prinsip yang terkandung dalam
filosofi tersebut oleh masyarakat jawa dipercayai bahwa memilih jalan
“sederhana”, yaitu “seni meletakkan diri”, ambil posisi terlalu ringan dan
terlalu berat, terlalu besar dan terlalu kecil. Hanya munculnya sebagai pesan
terlalu berkesan “menghindari” dan seperti jalan memutar, seperti dalam
filosofi ngono yo ngono ning ojo ngono yang diartikan silahkan demikian
tetapi jangan begitu terlalu”. Secara positif juga diartikan jaga keseimbangan,
maka semua masalah selesai. Hal ini tepat jika kita kaitkan dalam penyelesaian
konflik maupun masalah dengan hukum nasional yang terkesan menang dan kalah,
memaksa, tidak adil, dan lebih berpihak kepada penguasa. Dengan
mengimplementasikan filosofi tersebut, harapannya akan mengembalikan esensi
hukum sebagai sarana untuk menjaga tatanan dan keharmonisan di dalam masyarakat
dan melindungi setiap kepentingan yang ada di dalamnya.
Implementasi terhadap nilai kearifan lokal asas ngono yo ngono ning ojo
ngono sangat penting untuk perkembangan keilmuan dan menelaah hubungan
antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat (hukum yang hidup di masyarakat
berdasarkan nilai yang berkembang di dalamnya) sebagai solusi untuk
menyelesaikan perselisihan di masyarakat adat, khususnya masyarakat Jawa. Bagi
masyarakat ditiap-tiap daerah yang masih berpegang pada aturan-aturan adat,
penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih menjamin
keadilan dan lebih memiliki kekuatan nilai dibandingkan hukum nasional yang
cenderung berpihak.
Asas ngono yo ngono ning ojo ngono diimplementasikan dalam
penyelesaian perselisihan di masyarakat Jawa, hal tersebut menjadi asas, norma,
serta semangat untuk menjiwai. Misalnya di negara semua produk hukum dan
konflik di selesaikan dengan menjiwai pancasila, namun apabila di masyarakat
jawa menggunakan asas ngono yo ngono ning ojo ngono sebagai penjiwaan
untuk menyelesaikan setiap permasalahan ketika masyarakat terdapat gesekan.
Atribut-atribut formal kekuasaan juga dijiwai dengan asas ngono yo ngono
ning ojo ngono di tingkat desa.
Bentuk implementasi asas ngono yo ngono ning ojo ngono yaitu menyelesaikan perselisihan antar masyarakat di Jawa salah satu istilah yang dapat disebut kekeluargaan. Pada saat menghadapi permasalahan setiap pihak yang mempunyai masalah dituntut untuk positioning dalam artian anda siapa, saya siapa, permasalahannya apa, sehingga lebih kompleks dan tidak selalu merujuk ke regulasi, dan Masyarakat Jawa cenderung menyelesaikan permasalahan dengan menerapkan asas ngono yo ngono tapi ojo ngono. Seperti di Minangkabau ada istilah basilang kayu dalam tungkumangko api ka hiduik ( Yang artinya tiap persoalan pasti ada jalan keluarnya dan tidak perlu dilebih lebihkan ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar