Tubagus sering terdengar dari nama depan
seseorang dengan garis keturunan Kesultanan Banten, yang ternyata berasal dari
kata Ratubagus yakni gelar untuk
keluarga kasunyatan di provinsi yang dikenal dengan sejarah panjangnya
sebagai tanah jawara tersebut.
Dari
beberapa pembesar atau tokoh di Banten, bahkan tertera Tubagus di
nama depannya yang banyak orang memahaminya sebagai gelar bangsawan.
Namun dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari berbagai sumber, Tubagus adalah gelar Sayyid untuk keturunan Rasulullah yang diterapkan di Banten.
Jika di Arab Saudi ada gelar Habib
dan ada gelar Sayyid, maka di Banten yang
menggunakan Tubagus agar orang tersebut terikat dan
meneladani Rasullulah.
Bukan tanpa sebab, ini karena Sultan Banten yakni Sultan Hasanuddin merupakan keturunan
Rasullulah yang berasal dari sang ayah yaitu Maulana Syarif Hidayatullah melalui jalur
Azmatkhan.
Pada Syarif Hidayatullah, mengalir dua darah utama
yakni dari Rasulullah dari ayahnya dan dari ibunya mengalir darah penguasa
Padjajaran yang merupakan adik dari Prabu Siliwangi.
Syarif Hidayatullah adalah putra
dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam, yang menikah dengan Nyi Mas
Rara Santang putri dari Jayadewata bergelar Sri Baduga Maharaja, setelah
menikah dengan Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim.
Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
Pada masa lalu,
terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh
beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan
agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan
mancanegara pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon.
Maka, Pangeran Raja Nasiruddin bergelar Wangsakerta, mengadakan
penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para
ahli-ahli di bidangnya.
Hasilnya, pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di
dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang sudah diluruskan
dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.
Pada zaman dahulu, memakai nama Tubagus biasanya
identik dengan pandai, ahli agama, bisa mangaji, agamis, pendakwah atau memberi
manfaat buat orang lain.
Dengan mendapat gelar Tubagus,
secara tidk langsung mendapat tugas untuk memberi manfaat buat orang lain serta
manjaga garis keturunan.
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, gelar Tubagus mempunyai sejarah yang
sangat panjang yang diberikan kepada keluarga kasultanan Banten.
Era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal
dengan gelar Sunan Gunung Jati, bisa dikatakan
sebagai era keemasan perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin
oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan
berdasarkan asas Islam.
Namun setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa
Cirebon masih berlindung di balik kebesaran namanya.
Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia
menjadi salah seorang dewan Walisongo
di Jawa, yang mendapat tugas berdakwah di Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa
(Jakarta).
Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin
Cirebon merupakan masa perkembangan, sekaligus masa kejayaan Islam di Cirebon.
Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, maju sangat pesat.
Pada masa itu pula berlangsung penyebaran Islam ke Banten (sekitar
1525-1526) melalui penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin.
Peristiwa
itu terjadi setelah keruntuhan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari
Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang.
Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti pada
terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin yang
terletak di Surosowan, dekat Muara Cibanten.
Akan
tetap,i pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan Timur, antara lain ke
Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian Talaga (tahun 1530). Jika dipetakan,
wilayah perkembangan Islam pada era itu, yaitu Indramayu, Kerawang, Bekasi,
Tangerang, dan Serang (Banten).
Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain
terlihat dari sisi keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah seperti
penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan bangunan fisiknya,
seperti Tajug (Masjid), Kraton Pakungwati, saat ini berada di Kasepuhan, dan
pelabuhan yang saat ini tidak seramai dahulu lagi.
Sebagai
bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir hayatnya
lebih memilih untuk menjadi seorang ulama daripada penguasa pemerintahan.
Baginya,
kekuasaan cukup dijalankan oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan
kekuasaan pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu
1528-1552.
Pesarean
merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih
mengkhususkan diri dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.***
////Kabar Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar