Kamis, 04 Mei 2023

Mengungkap Gelar Tubagus dari Keluarga Kesultanan Banten, Garis Keturunan Rasulullah, Ternyata Ini Artinya

Makam Syariff Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati salah satu wali songo

Tubagus sering terdengar dari nama depan seseorang dengan garis keturunan Kesultanan Banten, yang ternyata berasal dari kata Ratubagus yakni gelar untuk keluarga kasunyatan di provinsi yang dikenal dengan sejarah panjangnya sebagai tanah jawara tersebut.

Dari beberapa pembesar atau tokoh di Banten, bahkan tertera Tubagus di nama depannya yang banyak orang memahaminya sebagai gelar bangsawan.

Namun dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari berbagai sumber, Tubagus adalah gelar Sayyid untuk keturunan Rasulullah yang diterapkan di Banten.

Jika di Arab Saudi ada gelar Habib dan  ada gelar Sayyid, maka di Banten yang menggunakan Tubagus agar orang tersebut terikat dan meneladani Rasullulah.

Bukan tanpa sebab, ini karena Sultan Banten yakni Sultan Hasanuddin merupakan keturunan Rasullulah yang berasal dari sang ayah yaitu Maulana Syarif Hidayatullah melalui jalur Azmatkhan.

Pada Syarif Hidayatullah, mengalir dua darah utama yakni dari Rasulullah dari ayahnya dan dari ibunya mengalir darah penguasa Padjajaran yang merupakan adik dari Prabu Siliwangi.

Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam, yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata bergelar Sri Baduga Maharaja, setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim.

Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).

Pada masa lalu, terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara  pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon.

Maka, Pangeran Raja Nasiruddin bergelar Wangsakerta, mengadakan penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli di bidangnya.

Hasilnya, pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang sudah diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.

Pada zaman dahulu, memakai nama Tubagus biasanya identik dengan pandai, ahli agama, bisa mangaji, agamis, pendakwah atau memberi manfaat buat orang lain.

 Dengan mendapat gelar Tubagus, secara tidk langsung mendapat tugas untuk memberi manfaat buat orang lain serta manjaga garis keturunan.

Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, gelar Tubagus mempunyai sejarah yang sangat panjang yang diberikan kepada keluarga kasultanan Banten.

Era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, bisa dikatakan sebagai era keemasan perkembangan Islam di Cirebon.  Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam.

Namun setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran namanya.

Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo  di Jawa, yang mendapat tugas berdakwah di Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta).

Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin Cirebon merupakan masa perkembangan, sekaligus masa kejayaan Islam di Cirebon.

Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, maju sangat pesat. Pada masa itu pula berlangsung  penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) melalui penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin. 

Peristiwa itu terjadi setelah keruntuhan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang.
Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti pada terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin yang terletak di Surosowan, dekat Muara Cibanten.

Akan tetap,i pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan Timur, antara lain ke Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian Talaga (tahun 1530). Jika dipetakan, wilayah perkembangan Islam pada era itu, yaitu Indramayu, Kerawang, Bekasi, Tangerang, dan Serang (Banten).

Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain terlihat dari sisi  keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah seperti penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan bangunan fisiknya, seperti Tajug (Masjid), Kraton Pakungwati, saat ini berada di Kasepuhan, dan pelabuhan yang saat ini tidak seramai dahulu lagi.

Sebagai bagian dari WalisongoSyarif Hidayatullah di akhir hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama daripada penguasa pemerintahan.

Baginya, kekuasaan cukup dijalankan oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552.

Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih mengkhususkan diri dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.***


////Kabar Banten

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKTI NEGARA HADIR, KEPALA BNN RI RESMIKAN GEDUNG KANTOR BNN KOTA SAMBAS

Sambas/Kalimantan Barat - Sebagai daerah kawasan perbatasan yang dekat dengan Malaysia dan Laut Cina Selatan, Badan Narkotika Nasional Repub...