Minggu, 18 April 2021

KAA, Bandung, dan Romansa Nostalgia Soekarno

Soekarno Presiden Pertama RI saat berpidato di Konferensi Asia Afrika di Bandung

Hari itu, 18 April 1955, Soekarno kembali ke Bandung. Bukan untuk kunjungan biasa, melainkan hadir berpartisipasi dalam peristiwa yang nantinya akan dicatat penting dalam sejarah. Sebuah pertemuan negara-negara yang disatukan dalam pengalaman pahit getir kolonialisme: Konferensi Asia Afrika.

Konferensi yang digagas oleh PM. Ali Sastroamidjojo ini merupakan momen bersejarah yang dilatar belakangi oleh hal yang sama sekali non-tunggal, majemuk, berlapis, tumpang-tindih. Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur saat itu membuat keduanya mengusahakan berbagai cara—termasuk cara-cara yang kotor—untuk menarik negara-negara yang baru saja merdeka untuk bergabung ke dalam bloknya. Termasuk Asia Afrika, sebagai sasaran utama.

Bagi negara yang baru saja lepas dari penjajahan panjang, bergabung dalam salah satu blok jelas bukan satu prioritas. Rakyat di negara yang baru saja merdeka masih mengalami keterbelakangan, kemiskinan, kelaparan, epidemik dan semua yang ditinggalkan oleh penjajah lewat peperangan dan perbudakan yang panjang. Prioritas mereka justru mencari cara bagaimana membebaskan diri dari dominasi negra-negara adidaya dan membangun negara masing-masing berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan.

Dan jawabannya jelas bukan mengekor pada salah satu dari dua blok.

Maka untuk membakar semangat bersatu melawan dominasi asing, di depan 5 kepala negara dan 24 perwakilan negara Asia Afrika, Soekarno memantik api di sumbu dengan menyeru:

“..Kita semua yang berada di sini saya yakin dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada hal yang nampaknya memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya, oleh sikap yang sama yaitu membenci kolonialisme dalam bentuk apapun. Kita bersatu oleh sikap yang sama dalam hal membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia.”

Soekarno didampingi Ibu Fatmawati

Bandung dalam Ingatan Soekarno

Bagi Soekarno, Bandung adalah hal yang akrab dan dekat. Sekaligus pedih. Di kota inilah semua perjuangannya dimulai. Selepas lulus dari Hoogere Burger School (HBS) dan berguru politik dan organisasi pada kawan ayahnya, H.O.S Cokroaminoto, ia bertekad melanjutkan sekolah ke Bandung. Sembari menuntut ilmu di Technische Hoogeschool (cikal bakal ITB), ia aktif dalam aktivitas politik dan mendirikan Algemene Studie Club pada 1926.

Perlu diketahui, pembentukan study club ini pada masanya menjadi tren tersendiri di kalangan pemuda terpelajar Indonesia saat itu. Induk study club sendiri berada di Surabaya dan diprakarsai oleh Dr. Soetomo untuk memajukan kesadaran akan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pembentukannya kemudian dengan cepat menular hingga Surakarta, Yogyakarta, Batavia, Semarang, Bogor, dan Bandung—yang menjadi study club paling aktif bergerak.

Jika perjuangan politik diibaratkan sebagai pekerjaan utama, maka bagi Soekarno muda, Bandung merupakan lapangan praktik pertama dari semua pelajaran yang ia dapatkan di ‘sekolah’ Cokro.

Pada masa selanjutnya, tepatnya tahun 1930, keaktifan gerak politiknya ini membuat pemerintah kolonial kalang kabut. Soekarno akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara Bantjeuj di Bandung, dengan kondisi sel yang sangat memprihatinkan: lebar 1,5 meter, tinggi 2,5 meter, dan panjang seukuran peti mati. Terdapat kaleng rombeng yang ditempatkan dipojokan, untuk buang air kecil. Tidak ada jendela, jeruji atau apapun yang dapat menjadi celah masuknya cahaya. Selnya lembap. Semua yang ia lihat di tempat pengap itu hanya tembok—dan kotoran.

“Tempat itu gelap, lembab, dan melemaskan,” terangnya dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.

Itu adalah salah satu ingatan pedih yang ia potret dalam memorinya tentang Bandung.

Namun bukan Soekarno namanya jika menyerah begitu saja pada penjajah. Dalam sel pengap ia menulis pledoi untuk dibacakan di hadapan pengadilan kolonial—dengan kaleng tempat buang air kecil sebagai meja tulis. Pledoi yang ditulis dengan bahasa yang berapi, teoritis, dan menggugat itu kemudian dikenal dengan Indonesia Menggugat. Sebuah pidato politik yang mengguncang tatanan kolonial. Indonesia Menggugat menjadi embrio politik bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme dan imperialisme dengan keras.

Tiga tahun kemudian, Soekarno kembali lagi ke Bandung. Namun kali ini Ia tidak kembali sebagai tahanan dan menuliskan pledoi di sel pengap, melainkan melepas lelah setelah berpidato politik di depan 89.000 orang di Jawa Tengah. Sambil menulis risalah ‘Mencapai Indonesia Merdeka’, yang berisi visi misi kemerdekaan Indonesia, dengan harapan dapat menyebar di kalangan bangsa Indonesia.

“Moga-moga risalah ini banyak dibaca oleh Marhaen..” ujarnya dalam Soekarno: Mentjapai Indonesia Merdeka.

Bandung sekali lagi menjadi tempat bagi lahirnya embrio gagasan lepas dari penjajahan.

Soekarno muda di bandung saat sidang Indonesia Menggugat

Sepanjang ingatan Soekarno, selalu ada gagasan kemerdekaan yang dapat ia tuangkan ketika menetap di Bandung. Dalam buku 50 tahun Indonesia dan Konferensi Asia Afrika, Soekarno ingin menegaskan kepada dunia bahwa dari Bandung-lah awal gerakan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan imperialismenya dimulai. Bandung pula yang baginya cocok menjadi tempat lahirnya harapan dari negara-negara yang menolak imperialisme dalam bentuk apapun.

Maka pada hari itu tanggal 18 April 1955, di tengah khidmatnya konferensi, Soekarno masih menatap keluar jendela. Ia masih memotret Bandung dalam kepala.

Nostalgianya belum selesai./ Zia D


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polres Tangsel Bersama Bea Dan Cukai Sita 642 Kg Ganja, 7,8 Kg Sabu dan 1,1 Kg MDMA, Ungkap Penyalahgunaan Narkotika

Tangsel - Dalam dua bulan terakhir satuan reserse narkoba (Sat Res Narkoba) Polres Tangerang Selatan berhasil mengungkap perkara menonjol te...