Hari itu, 18 April 1955, Soekarno kembali ke Bandung. Bukan untuk
kunjungan biasa, melainkan hadir berpartisipasi dalam peristiwa yang nantinya
akan dicatat penting dalam sejarah. Sebuah pertemuan negara-negara yang
disatukan dalam pengalaman pahit getir kolonialisme: Konferensi Asia Afrika.
Konferensi yang digagas oleh PM. Ali
Sastroamidjojo ini merupakan momen bersejarah yang dilatar belakangi oleh hal
yang sama sekali non-tunggal, majemuk, berlapis, tumpang-tindih. Perang Dingin
antara Blok Barat dan Timur saat itu membuat keduanya mengusahakan berbagai
cara—termasuk cara-cara yang kotor—untuk menarik negara-negara yang baru saja
merdeka untuk bergabung ke dalam bloknya. Termasuk Asia Afrika, sebagai sasaran
utama.
Bagi negara yang baru saja lepas dari penjajahan
panjang, bergabung dalam salah satu blok jelas bukan satu prioritas. Rakyat di
negara yang baru saja merdeka masih mengalami keterbelakangan, kemiskinan,
kelaparan, epidemik dan semua yang ditinggalkan oleh penjajah lewat peperangan
dan perbudakan yang panjang. Prioritas mereka justru mencari cara bagaimana
membebaskan diri dari dominasi negra-negara adidaya dan membangun negara
masing-masing berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan.
Dan jawabannya jelas bukan mengekor pada salah satu dari
dua blok.
Maka untuk membakar semangat bersatu melawan dominasi
asing, di depan 5 kepala negara dan 24 perwakilan negara Asia Afrika, Soekarno
memantik api di sumbu dengan menyeru:
“..Kita semua yang berada di sini saya
yakin dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada hal yang nampaknya
memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya, oleh sikap yang sama yaitu membenci
kolonialisme dalam bentuk apapun. Kita bersatu oleh sikap yang sama dalam hal
membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam
usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia.”
Bandung dalam Ingatan Soekarno
Bagi Soekarno, Bandung adalah hal yang akrab dan dekat.
Sekaligus pedih. Di kota inilah semua perjuangannya dimulai. Selepas lulus dari
Hoogere Burger School (HBS) dan berguru politik dan organisasi pada kawan
ayahnya, H.O.S Cokroaminoto, ia bertekad melanjutkan sekolah ke Bandung.
Sembari menuntut ilmu di Technische Hoogeschool (cikal bakal ITB), ia aktif
dalam aktivitas politik dan mendirikan Algemene Studie Club pada 1926.
Perlu diketahui, pembentukan study club ini
pada masanya menjadi tren tersendiri di kalangan pemuda terpelajar Indonesia
saat itu. Induk study club sendiri
berada di Surabaya dan diprakarsai oleh Dr. Soetomo untuk memajukan kesadaran
akan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pembentukannya kemudian dengan cepat
menular hingga Surakarta, Yogyakarta, Batavia, Semarang, Bogor, dan
Bandung—yang menjadi study club paling
aktif bergerak.
Jika perjuangan politik diibaratkan sebagai
pekerjaan utama, maka bagi Soekarno muda, Bandung merupakan lapangan praktik
pertama dari semua pelajaran yang ia dapatkan di ‘sekolah’ Cokro.
Pada masa selanjutnya, tepatnya tahun 1930, keaktifan
gerak politiknya ini membuat pemerintah kolonial kalang kabut. Soekarno akhirnya
ditangkap dan dijebloskan ke penjara Bantjeuj di Bandung, dengan kondisi sel
yang sangat memprihatinkan: lebar 1,5 meter, tinggi 2,5 meter, dan panjang
seukuran peti mati. Terdapat kaleng rombeng yang ditempatkan dipojokan, untuk
buang air kecil. Tidak ada jendela, jeruji atau apapun yang dapat menjadi celah
masuknya cahaya. Selnya lembap. Semua yang ia lihat di tempat pengap itu hanya
tembok—dan kotoran.
“Tempat itu gelap, lembab, dan melemaskan,” terangnya
dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.
Itu adalah salah satu ingatan pedih yang ia potret dalam
memorinya tentang Bandung.
Namun bukan Soekarno namanya jika menyerah begitu saja
pada penjajah. Dalam sel pengap ia menulis pledoi untuk dibacakan di hadapan
pengadilan kolonial—dengan kaleng tempat buang air kecil sebagai meja tulis.
Pledoi yang ditulis dengan bahasa yang berapi, teoritis, dan menggugat itu
kemudian dikenal dengan Indonesia
Menggugat. Sebuah pidato politik yang mengguncang tatanan kolonial. Indonesia Menggugat menjadi
embrio politik bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme dan imperialisme
dengan keras.
Tiga tahun kemudian, Soekarno kembali lagi ke Bandung. Namun kali ini Ia
tidak kembali sebagai tahanan dan menuliskan pledoi di sel pengap, melainkan
melepas lelah setelah berpidato politik di depan 89.000 orang di Jawa Tengah.
Sambil menulis risalah ‘Mencapai Indonesia Merdeka’, yang berisi visi misi
kemerdekaan Indonesia, dengan harapan dapat menyebar di kalangan bangsa
Indonesia.
“Moga-moga risalah ini banyak dibaca oleh
Marhaen..” ujarnya dalam Soekarno: Mentjapai Indonesia Merdeka.
Bandung sekali lagi menjadi tempat bagi
lahirnya embrio gagasan lepas dari penjajahan.
Sepanjang ingatan Soekarno, selalu ada
gagasan kemerdekaan yang dapat ia tuangkan ketika menetap di Bandung. Dalam
buku 50
tahun Indonesia dan Konferensi Asia Afrika, Soekarno ingin
menegaskan kepada dunia bahwa dari Bandung-lah awal gerakan bangsa Indonesia
melawan kolonialisme dan imperialismenya dimulai. Bandung pula yang baginya
cocok menjadi tempat lahirnya harapan dari negara-negara yang menolak
imperialisme dalam bentuk apapun.
Maka pada hari itu tanggal 18 April 1955,
di tengah khidmatnya konferensi, Soekarno masih menatap keluar jendela. Ia
masih memotret Bandung dalam kepala.
Nostalgianya belum selesai./ Zia D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar