Pada
tahun ini, Papua menyumbangkan satu nama lagi dalam album pahlawan nasional.
Gelar itu dinobatkan atas nama Machmud Singgirei Rumagesan asal Papua
Barat. Dia dikenal sebagai raja lokal di Distrik Kokas, Fakfak yang menentang
Belanda sejak zaman kolonial.
Sebelum
Machmud Singgirei Rumagesan, telah tercatat empat pahlawan nasional asal Papua.
Mereka antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare. Ketiganya
ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1993. Kemudian, Johannes Abraham
Dimara menjadi pahlawan pada 2010. Satu dekade berselang, Rumagesan masuk dalam
daftar anyar yang tercatat sebagai pahlawan nasional kelima asal
Papua.
Siapa
dan bagaimana kiprah mereka? Berikut ulasannya.
Frans Kaisiepo
Lahir
di Pulau Biak, 10 Oktober 1921. Merupakan murid dari Soegoro Atmoprasodjo,
seorang tahanan politik eks Digulis. Frans Kaisiepo mendapat binaan dari
Soegoro ketika menjadi siswa sekolah pamong praja di Kota Nica, Hollandia (kini
Jayapura) pada 1945. Soegoro yang menjabat direktur asrama kerap menyisipkan
gagasan ke-Indonesian terhadap para siswa. Dia kemudian merintis benih
nasionalisme Indonesia di Papua.
Frans Kaisiepo
merupakan orang pertama yang mengganti nama Papua menjadi Irian. Nama itu
diperkenalkannya pada Konferensi Malino yang diselenggarakan Belanda, 18 Juli
1946. Gagasan tersebut lahir tidak lama setelah Frans Kaisiepo nekat menjumpai
Soegoro di Penjara Hollandia.
“Frans Kaisiepo mengusulkan gagasan tersebut dan ini sangat
mengejutkan pihak Belanda. Karena ia mengusulkan agar nama Papua dan Nederlands
Nieuw Guine yang dipakai selama ini ditiadakan dan diganti dengan kata atau
nama IRIAN,” tulis Pius Suryo Haryono dkk, dalam Pahlawan
Nasional: Frans Kaisiepo
Menurut Frans Kaisiepo, kata “Irian” berasal dari bahasa tempat
kelahirannya, Pulau Biak. Secara harfiah artinya panas. Diadaptasi dari tradisi
pelaut Biak yang melaut ke Pulau Papua. namun kemudian, kata Irian dipolitisasi
menjadi Ikut Republik Anti Nederland.
Dalam
aktifitas politiknya, Kaisiepo giat menentang Belanda dan pro integrasi dengan
Indonesia. Dia kemudian menjadi gubernur Irian Barat yang menyukseskan
penyatuan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui referendum Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera). Atas jasanya itu, pemerintah Indonesia menyematkan
gelar pahlawan nasional.
Marthen Indey
Lahir
di kampung Doromena, dekat kaki pegunungan Cyclops pada 16 Maret 1912. Seperti
Frans Kaisiepo, Marthen Indey (disebut juga Marthin) juga salah satu murid ideologis
Soegoro Atmoprasodjo. Marthen Indey punya latar belakang sebagai polisi sejak
zaman kolonial dan tentara Sekutu berpangkat letnan pada Perang Dunia II. Dia
kemudian menjadi instruktur polisi lokal “Batalion Papua” yang membawa
perkenalannya kepada Soegoro.
Pada
pergantian tahun 1945, Marthen Indey pernah terlibat pemberontakan untuk
membebaskan Soegoro dari penjara Hollandia. Sayangnya, aksi itu berujung dengan
kegagalan. Kematian salah satu anak buahnya dalam pemberontakan itu menggugah
kemarahan Marthen Indey terhadap Belanda.
Marthen
Indey selanjutnya terlibat dalam aktifitas menyiarkan proganda anti-Belanda.
“Dia mendesak para pejabat NIT (Negara Indonesia Timur) agar tetap
mempertahankan Irian Barat, dan menolak kemauan Belanda untuk memisahkan
separuh pulau ini dari dari wilayah Republik Indonesia Serikat,” tulis George
Junus Aditjondro dalam “Marthin Indey Pejuang Irian Barat” termuat di Prisma No.2,
Februari 1987.
Karena
ketahuan mencari dukungan dari tokoh-tokoh Maluku pro-Indonesia, Marthen
ditangkap polisi Belanda pada 1947. Dia diganjar hukuman penjara selama tiga
tahun. Ketika Indonesia melancarkan kampanye pembebasan Irian Barat,
Marthen Indey ikut pasang badan. Dia berperan melindungi pendaratan
pasukan infilitrasi Indonesia selama Operasi Trikora. Pemerintah Indonesia
mengangkatnya sebagai anggota MPRS mewakili Irian Barat, setelahnya Marthen
pensiun sebagai orang sipil.
Silas Papare
Silas
Papare lahir di Serui, 18 Desember 1918. Berlatar belakang sebagai juru rawat,
Silas kemudian diperbantukan sebagai tentara Sekutu berpangkat sersan pada
Perang Dunia II. Pasca-perang, Silas kembali menjadi perawat. Pemerintah
Belanda menggunakan Silas Papare sebagai penasihat mantri di sekolah pamong
praja di Kota Nica. Dari situlah Silas kemudian berkenalan dengan Soegoro
Atmoprasodjo dan Marthen Indey.
Pada akhir 1946,
Silas bersama Marthen Indey dan Corinus Krey mempengaruhi Batalion Papua untuk
mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Mereka bertujuan mewujudkan
kemerdekaan di Papua. Rencana itu bocor karena seorang anggota batalion yang
berkhianat
“Belanda mendatangkan bantuan dari Rabaul (Papua Timur).
Akibatnya Silas Papare dan Marthin Indey ditangkap dan dipenjarakan di
Hollandia (Jayapura),” tulis Onnie Lumintang, dkk dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare.
Dari penjara di Pulau Biak, Silas Papare kemudian dipindahkan ke Pulau Serui.
Di Serui, Silas Papare bertemu dengan Samuel Ratulangi, tokoh
nasionalis Indonesia asal Minahasa yang juga diasingkan pemerintah Belanda.
Bersama Ratulangi, Silas Papare kemudian membentuk Partai Kemerdekaan
Indonesia Irian (PKII).
Pada 1950-an, Silas
melebarkan sayap perjuangannya dengan hijrah ke Pulau Jawa. Di Yogyakarta,
Silas terlibat dalam pembentukan Badan Perjuangan Irian. Kemudian, pemerintah
Indonesia menunjuknya membentuk Biro Irian di Jakarta. Hingga pada 1962, Silas
menjadi anggota delegasi Indonesia dari Papua dalam Perjanjian New York yang
menandai kemenangan Indonesia dalam sengketa Irian Barat.
Johannes Abraham Dimara
Lahir
di Korem, Biak Utara, 16 April 1916, namun Dimara besar di Ambon, Maluku.
Orang-orang memanggilnya dengan nama “Johanes Papua”. Pada zaman pendudukan
Jepang, Dimara bertugas sebagai anggota Heiho (sejenis Hansip) di Pulau Buru.
Di
Perairan Namlea pada April 1946, Dimara berkenalan dengan Yosaphat Soedarso,
seorang perwira Angkatan Laut Indonesia yang sedang mengadakan ekspedisi ke
Maluku. Dari perkenalan itulah Dimara mengetahui tentang kemedekaan Indonesia.
Dimara kemudian terlibat dalam peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di
Namlea. Dimara meneruskan perjuangannya dengan bergabung menjadi tentara dalam
Batalion Pattimura, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pada
Juli 1950, pasukan Dimara diberangkatkan ke Ambon untuk menumpas pemberontakan
Republik Maluku Selatan pimpinan Soumokil.
Sebagai
putra asli Papua, Dimara diangkat menjadi ketua Organisasi Pembebasan Irian
(OPI). Atas mandat dari Presiden Sukarno, Dimara bersama 40 anggotanya
berangkat ke Irian Barat untuk melawan Belanda. Nahas, pada akhir Oktober 1954,
Dimara beserta anak buahnya tertangkap dan dipenjarakan ke Boven Digul.
“Di
sana ia dipisahkan dari anak buahnya. Mereka umumnya disiksa dengan tangan
dirantai. Meski sudah di dalam tahanan, tangan mereka tetap diborgol,” tulis
Carmelia Sukmawati Roring dalam Fa Ido Ma, Ma Ido Fa: J.A. Dimara Lintas
Perjuangan Putra Papua.
Setelah
tujuh tahun mendekam dipenjara, Dimara akhirnya bebas. Presiden Sukarno
kemudian mengutusnya sebagai salah satu delegasi Indonesia ke PBB untuk
merundingkan sengketa Irian Barat. Sosok Dimara disebut-sebut sebagai citra yang
menginspirasi monumen pembebasan Irian Barat yang terletak di Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat.
Machmud Singgirei Rumagesan
Lahir
di Kokas, Fakfak, Papua Barat pada 27 Desember 1885. Pada 1915, pemerintah
kolonial Belanda menunjuk Rumagesan sebagai kepala distrik Kokas. Kendati
ditunjuk Belanda, Rumagesan bertentangan dengan pemerintah yang memberinya
mandat itu. Rumagesan menuntut maskapai minyak Belanda yang membuka
pertambangan di Kokas agar mempekerjakan penduduk pribumi dan tidak berlaku
semena-mena.
Sikap vokalnya
menuai banyak dukungan rakyat. Tapi itu juga yang membuat Rumagesan dipenjara
berkali-kali oleh pemerintah Belanda. Muhammad Husni Thamrin, waktu itu anggota
Dewan Rakyat Hindia Belanda pernah menolong Rumagesan agar masa tahanannya
dikurangi dari lima belas menjadi tujuh tahun. Sepanjang Belanda berkuasa,
Rumagesan telah mencicipi berbagai penjara di pelosok Papua seperti Saparua,
Sorong Doom, Manokwari, Hollandia, dan Makassar.
”Setelah Rumagesan ditempatkan di penjara Manokwari, beliau
berhasil memengaruhi dan menghasut para pemuda Irian (Papua) yang menjadi
tentara Belanda.” tulis Rosmaida dan Abdul Syukur dalam Singgirei Rumagesan: Pejuang Integrasi Papua.
Rumagesan juga menyadarkan para pemuda itu tentang pentingnya kemerdekaan
bangsa dan negara.
Pada 1953 Machmud Rumagesan mendirikan organisasi pembebasan
Irian Barat di Makassar bernama Gerakan Tjenderawasi Revolusioner Irian Barat
(GTRIB). Tujuannya membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memperjuangkan
pembebasan Irian Barat dari Belanda. Pada 1954, Rumagesan diangkat menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung sekaligus yang pertama dari Papua.
Begitu getolnya
Rumagesan menyerukan Irian Barat harus kembali ke Indonesia sehingga Presiden
Sukarno memberikan julukan “Si Jago Tua” dari Irian Barat. Rumagesan wafat pada
5 Juli 1964. Kendati demikian, Si jago Tua itu sempat menyaksikan Irian Barat
menjadi bagian dari Republik Indonesia seperti yang dicita-citakannya. //Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar