PEMIMPIN tertinggi militer Jepang
ketar-ketir. Kemenangan Sekutu di berbagai palagan, sejak Pertempuran Laut
Karang (Mei 1942) hingga Gualdalcanal (Agustus 1942), membuat pertahanan Jepang
di daerah-daerah pendudukan Asia Tenggara semakin kritis. Jepang pun menghitung
ulang kekuatan.
Jendral Inada Masazumi, Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang Jepang Kawasan Selatan, bertolak ke Selatan,
termasuk Sumatera dan Jawa, untuk mengikspeksi pertahanan militer Jepang. Dari
sana, tulis Joyce Lebra pada Tentara
Gemblengan Jepang, Inada berkesimpulan pasukan semi-militer seperti Heiho
tak lagi bisa diandalkan, bahkan sekadar untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Inada kemudia berunding
dengan Jendral Hideki Tojo dan Jendral Kenryo Soto, Kepala Urusan Militer
Kementrian Angkatan Darat. Mereka sepakat merancang program tentara cadangan
atau Giyugun, dan Keisatsutai pada kesatuan kepolisian.
Petinggi militer Jepang
menginginkan satuan polisi bermobilitas tinggi dan memiliki kemahiran tempur.
Keinginan itu mewujud pada April 1944 dengan dibentuk Tokubetsu Keisatsu Tai atau Polisi
Istimewa, (embrio Korps Brimob).
Polisi Istimewa berdiri pada
tiap karesidenan (Syu) di seluruh Jawa,
Madura, dan Sumatera dengan pusat organisasi berada di masing-masing daerah,
seperti kepolisian Jawa dan Madura berpusat di Jakarta dan Kepolisian untuk
Timur Besar berpusat di Makasar.
Para pemuda Bumiputera
ramai-ramai mendaftar. Moekari, seorang mandor muda di perusahaan Jepang pun
tergiur ambil bagian. Dia menjadi salah seorang peserta dan kemudian terpilih
menjadi angkatan pertama Polisi Istimewa Jepang di Surabaya.
“Saya pun mendaftar di kantor
hoofdbeureu Surabaya (kantor Polrestabes Surabaya, kini). Padahal kala itu saya
sudah bekerja sebagai mandor muda di perusahaan kapal milik Jepang di Gresik
bernama Nomura. Dari situ, saya bisa berbahasa Jepang, meski tak lancar,”
terang Moekari, termuat pada 500 km:
Sebuah Nilai Perjuangan Tanpa Angka.
Melalui serangkaian tes, 200
pemuda, termasuk Moekari lulus dan mendapat kesempatan mendapat gemblengan militer
Jepang pada sekolah Keisatsu Tai,
Surabaya. Para calon personel Polisi Istimewa tersebut mendapat asrama di Coen
Bolevard, kini Jalan Polisi Istimewa Surabaya. Masing-masing siswa mendapat
bekal dua setel seragam berwarna hijau, sepasang kaos kaki, dan dua pasang
sepatu lars.
Latihan mereka keras. Tiap
hari berlari 30 km. Berlatih berbaris, judo da gulat. Mereka memulai latihan,
lanjut Moekari, pada pukul 07.00 hingga 14.00. Rehat beberapa jam, kemudian
berlatih kembali pada 20.00, kemudian apel pada 22.00 WIB.
Sibangsire atau
petugas piket malam akan berkeliling. Bila kedapatan belum tidak maka hukuman
tampar mendarat di pipi.
Selain pelatihan fisik, para
siswa juga beroleh bekal pelajaran strategi perang, menganalisa serangan, dan
menggunakan segala jenis persenjataan. Pendidikan Polisi Istimewa berlangsung
setahun, selepas itu berlanjut pendidikan militer khusus selama 6 bulan.
Setiap satuan Tokubetsu Keisatsutai Tai berkekuatan
satu kompi, beranggotakan mulai 60 sampai 200 personel, bergantung pada situasi
wilayah.
Satuan kompi berada di bawah
kekuasaan Polisi Karesidenan. Komandan kompi berpangkat Itto Keibu atau setara Letnan Satu.
Guna menjalankan fungsi tempur, Polisi Istimewa mendapat persenjataan lebih
lengkap, terutama senjata tempur, berbeda dengan Polisi umum.
Selepas mendapat seluruh
latihan dan materi pelajar serta bepredikat lulus dari sekolah Keisatsu Tai, para Polisi Istimewa siap
terjun pada pelbagai Palagan.
“Saat saya keluar dari
pendidikan, diberi pangkat Ikni Sangto Jungso atau prajurit kelas tiga,” ujar
Moekari.
Moekari memaparkan terdapat 6
seksi pos dengan penjagaan Polisi Istimewa di Surabaya. Seksi 1 berada di
daerah Wonokromo, Seksi 2 daerah Darmo, Seksi 3 Bubutan, Seksi 4 Nyamplungan,
Seksi 5 Kapasan, dan Seksi 6 Tanjung Perak, serta terdapat Seksi Besar di
kantor hoofdbearueu dan
asrama Tokubetsutai. (*)/intisari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar