DI
KALANGAN perwira tinggi AD (Angkatan Darat), Menteri Panglima AU Omar Dani
kerap kali dirundung. Namanya dijengkali sekaligus disegani. Dani dijengkali
karena dianggap masih perwira belia. Di jajaran panglima angkatan perang, Dani
adalah yang termuda. Meski demikian, reputasi Dani tetap diperhitungkan sebab
dia panglima pilihan Presiden Sukarno.
“Sejak saya di
Kalimantan Timur, saya tidak senang pada orang itu (Dani). Saya selalu berpikir
tentangnya (sebagai) ‘anak kemarin sore sudah mau memimpin kita’,” demikian
pendapat Soemitro kepada Ramadhan K.H. dalam Soemitro: Dari Panglima
Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
close
Soemitro adalah salah
satu jenderal AD yang punya pengalaman tidak enak terhadap Dani. Waktu
itu, Soemitro menjabat Panglima Mulawarman di Kalimantan Timur. Di saat yang
sama, Omar Dani ditunjuk sebagai Panglima Komando Siaga (KOGA) dalam rangka
konfrontasi ganyang Malaysia. Sebagai panglima di wilayah perbatasan dengan
Malaysia, Soemitro harus menyokong rencana operasi KOGA.
“Omar Dani, bocah
kemarin sore, masih belum punya pengalaman perang,” kata Soemitro. “Tetapi
malah disuruh memimpin kami-yang sudah bongkel-bongkel, yang sudah
sejak zaman revolusi 45 sampai tua masih terus diajak perang.”
Digembosi Oknum AD
Penujukan Omar Dani
sebagai Panglima KOGA cukup menohok bagi pihak AD. Perasaan itu sudah mengakar
sejak Presiden Sukarno mendapuk Dani selaku Panglima AU. Menurut mereka, masih
banyak perwira AURI lain yang jauh lebih senior ketimbang Omar Dani. Dan lagi,
Dani dikenal sebagai panglima Sukarnois yang mendukung Sukarno tanpa reserve. Dalam
perkembangannya, AD menampilkan sikap antagonis terhadap AU.
“Mereka yang berada di
luar sering lupa, Omar Dani memang seorang komandan yang handal, berpendidikan
cukup bagus, berpengalaman tempur serta mempunyai prestasi bagus sebagai
komandan skuadron,” ujar mantan tokoh AU Marsekal Madya (Purn.) Boediardjo
dalam Siapa Sudi Saya Dongengi.
Ketika menangani
konfrontasi Malaysia, disitulah Dani “dihajar” oleh oknum petinggi AD. Semula
yang membantu Dani adalah Laksamana Muda Mulyadi, deputi operasi AL (wakil I)
dan Brigjen Achmad Wiranatakusuma, kepala staf Kostrad (wakil II). Pada awal
1965, konflik dengan Malaysia kian memanas. KOGA diganti menjadi Komando
Mandala Siaga (Kolaga). Susunan pembantu Dani diganti lagi. Mayjen Soeharto,
panglima Kostrad menjadi wakil I sementara Laksamana Mulyadi turun menjadi
wakil II. Kabarnya, Soeharto begitu menginginkan posisi dalam jajaran tertinggi
Kolaga sehingga dia menggeser Achmad Wiranatakusuma.
Menurut Omar Dani,
sebenarnya kinerja Achmad Wiranatakusuma cukup memuaskan. Achmad cukup berjasa
menyusun organisasi dan rencana operasi KOGA. Selain itu, Dani dan Achmad
membentuk staf yang kompak dengan sinergi kerjasama lintas angkatan. Kedatangan
Soeharto membawa perubahan organisasi, mengutak-atik rencana, dan mengacaukan
strategi dasar Kolaga sehingga meruwetkan suasana.
“Segala apa yang
diminta Jenderal Soeharto, tidak ada seorangpun yang berani menolaknya,” ujar
Omar Dani dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran
dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV.
Soeparno.
Kepemimpinan Omar Dani
dalam Kolaga gagal mencapai sasaran. Rencana operasi kerap kali tidak berjalan
di lapangan karena AD punya agenda tersendiri untuk mengakhiri konfrontasi.
Soeharto secara diam-diam menjalankan operasi khusus berupa aksi penyelundupan
pangan ke pihak musuh. Gerakan klandestin ini dijalankan anak buah Soeharto di
Kostrad: Ali Moertopo dan Benny Moerdani.
Mereka mengerahkan 200 speedboat yang dipakai melintasi
Sumatera – Malaysia dan Singapura. Keduanya juga berperan melakukan lobi-lobi
rahasia terhadap pejabat politik Malaysia yang bertentangan dengan kebijakan
Omar Dani.
Selain itu, ada
lagi Brigjen Kemal Idris,
panglima komando tempur I yang enggan melaksanakan perintah komando untuk
melakukan infiltrasi. Puncaknya, dalam rapat pimpinan KOTI, Soeharto mengatakan
kepada Presiden Sukarno bahwa Omar Dani kurang pantas menjadi panglima Kolaga.
Omar Dani sendiri tidak mengambil tindakan atau mengadu ke mana-mana atas
perlakuan yang menyudutkan dirinya itu. Hanya dengan Brigjen Soepardjo,
panglima komando tempur II, Omar dani dapat bekerja sama dengan baik.
Menurut sejarawan
Humaidi, pembangkangan terhadap komando Omar Dani merupakan suatu petunjuk
bahwa AD tidak sepenuhnya mendukung upaya Konfrontasi Malaysia. AD beranggapan
konfrontasi adalah suatu langkah provokasi PKI menarik dukungan masyarakat dan
memperkeruh situasi politik. Sehingga keberlangsungannya harus dihindari.
“Keikutsertaan
Angkatan Darat dalam Konfrontasi Malaysia adalah suatu tindakan yang
kontra-produktif, karena isu konfrontasi hanya menguatkan dukungan bagi kaum
komunis yang menjadi pendukung politik gagasan tersebut,” tulis Humaidi dalam
tesisnya di Universitas Indonesia “Politik Militer Angkatan Udara Republik
Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962--1966.”
Rontok Setelah Gestok
Hari laknat itu tiba:
1 Oktober 1965. RRI mengumandangkan berita terjadinya operasi militer Gerakan
30 September (G30S) yang telah menyelamatkan Presiden Sukarno. Gerakan
yang dipimpin Letkol Untung itu menciduk sejumlah jenderal AD yang diduga akan
melancarkan kudeta Dewan Jenderal.
Omar Dani menganggap
kejadian itu bagian dari konflik internal AD. Segera dia mengeluarkan surat
perintah harian yang mengatakan: AURI tidak turut campur dalam G30S dan AURI
setuju dengan tiap gerakan pembersihan yang diadakan dalam tubuh tiap alat
revolusi sesuai garis Pemimpin Besar Revolusi (Presiden Sukarno). Namun setelah
perintah harian itu tersiar, baru diketahui Gerakan 30 September didalangi oleh
biro politik yang dipimpin oleh D.N. Aidit, pemimpin PKI. Jelas, Dani mengambil
langkah tergesa-gesa yang berakibat fatal dalam hidupnya.
“Perintah harian itu
kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto,” demikian catatan
sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah. “Perintah
itu dianggap oleh kelompok Soeharto sebagai bukti keterlibatan Omar Dani dalam
mendukung G30S.”
Situasi politik
menggoyahkan kepemimpinan Presiden Sukarno. Secara perlahan, kekuasaan
beralih ke tangan Jenderal Soeharto. Dengan dalil pemulihan keamanan yang
diperoleh lewat Surat Perintah 11 Maret, Soeharto mulai menangkapi orang-orang
yang dicurigai, termasuk Omar Dani. Tudingan yang memberatkan Dani adalah
kawasan Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah yang kerap dijadikan tempat latihan
Pemuda Rakyat, organ pemuda PKI. Selain itu, beberapa anggota AURI diduga
terlibat dalam G30S.
Pada April1966, Omar
Dani ditahan untuk dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Jurnalis kawakan Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa mencatat,
Omar Dani menyadari dirinya bakal diajukan ke depan sidang peradilan yang penuh
fitnah, tekanan serta campur tangan penguasa. Di depan sidang Mahmilub, dengan
sikap gagah Omar Dani memberi penegasan:
“Segala macam tindakan dari anggota AURI
selama berlangsungnya Peristiwa G30S, semuanya tanggung jawab saya, sama sekali
bukan tanggung jawab mereka.”
Pengadilan Mahmilub
pada akhirnya menyatakan Omar Dani bersalah. Panglima Sukarnois ini dijatuhi
vonis hukuman mati. Namanya pun dinista selama rezim Orde Baru.( Historia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar