Jakarta (30/9/2020) - Sejarah mencatat ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebetulnya bukan cuma dari PKI, tapi juga dari kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Sementara PKI ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan komunisme, DI/TII di bawah SM Kartosoewirjo ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.
"Aksi mereka tak kalah ganasnya dengan PKI. Untuk memadamkan
pemberontakan DI/TII, dibutuhkan waktu panjang, sejak 1949 hingga 1962, saat SM
Kartosoewirjo ditangkap," kata Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus
Widjojo
Keganasan mereka, dia melanjutkan, dapat disimak dari kesaksian
orang-orang tua di Jawa Barat, khususnya di Tasikmalaya, Garut, dan Malangbong.
Agus Widjojo juga mengaku masih ingat, pada 1960-an orang-orang yang ingin
bepergian dari Jakarta ke Bandung biasanya harus sampai di tujuan paling telat
sekitar pukul empat sore. Bila sudah memasuki senja, sekitar pukul enam, mereka
tak lagi berani melintas jalan Rajamandala, perbatasan Bandung-Cianjur.
"Karena takut dihadang gerombolan DI/TII," ujar Agus.
Dalam
catatan , perihal aksi dan kekejaman DI/TII antara lain digambarkan oleh
KH Idham Chalid dalam biografinya, 'Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah'.
Menurut Idham, aksi-aksi DI/TII bersifat provokatif dan anarkistis. Banyak
pemeluk Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Beberapa pimpinan cabang NU
di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati.
Suatu rapat NU pernah diserang mereka.
Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, gerombolan DI/TII membakar
banyak madrasah dan masjid yang ulama dan jemaahnya tidak sependapat dengan
perjuangan mereka. Idham pun tak luput dari upaya pembunuhan. Saat menginap di
Puncak, sepulang dari Bandung menuju Jakarta, misalnya, Ketua I PBNU itu
ditembaki gerombolan DI/TII dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang
sehingga luput dari terjangan peluru.
Begitupun
saat naik kereta api menuju Jawa Timur, gerombolan DI/TII pernah menembaki
rangkaian kereta saat melintas antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung, peluru
hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H Djumaksum. "Sasaran tembakan
pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan," kata Idham.
Tapi sekarang ini narasi ancaman terhadap ideologi Pancasila yang
berasal dari ekstrem kanan dan kiri, menurut Agus Widjojo, kurang seimbang.
Saat ini seolah yang berbahaya cuma komunisme. "Kita patut mewaspadai
mengapa terjadi ketidakseimbangan ini. Ada apa, dari mana datangnya sehingga
terjadi ketidakseimbangan ini?" ujarnya./ sumber Detik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar