Minggu, 02 Juni 2019

Demokrasi di Indonesia Perlu Masyarakat Sipil yang Kuat


YOGYAKARTA

Willy Purna Samadhi, peneliti tentang Kekuasaan, Kesejahteraan dan Demokrasi (Power, Welfare and Democracy) Fisipol Universitas Gajah Mada, dalam risetnya yang dilakukan tahun 2013 mendapatkan bahwa proses demokrasi di Indonesia berlangsung tanpa peran serta publik atau masyarakat.
“Demokrasi kita itu berlangsung tanpa satu aspek penting yaitu tidak adanya publik dalam bentuk keterlibatan publik, partisipasi publik, keterwakilan publik. Bahkan lebih parah lagi publiknya itu tidak ada karena terpecah dalam kelompok-kelompok yang terkait dengan sentiment etnisitas, sentiment agama, sentimen kelas, asal kedaerahan, dan seterusnya,” kata Willy.
Tidak adanya partisipasi masyarakat dalam demokrasi di Indonesia, menurut Willy, akibat depolisitasi selama era Orde Baru. Sementara pada era Reformasi lebih banyak pembenahan hal-hal yang lebih bersifat instrumental seperti pembenahan system pemilu yang juga diperlukan dalam demokratisasi, tetapi itu tidak cukup.
Menurut Willy, masyarakat perlu didorong untuk lebih sadar pentingnya partisipasi mereka dalam proses demokrasi. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melatih masyarakat mengikuti organisasi yang sesuai dengan kepentingannya.
Sementara itu A.E. Priyono, direktur Riset Public Virtue Institut yang juga penyunting buku Merancang Arah Baru Demokrasi mengatakan, model demokrasi yang dianut Indonesia saat ini sedang mengalami krisis yang serius dan diperlukan masyarakat sipil yang kuat. Munculnya kelompok masyarakat sipil di perkotaan yang aktif di media sosial harus diarahkan untuk mendesakkan agenda-agenda baru yang menjadi kepentingan masyarakat luas.
Yang dibutuhkan sekarang, menurut A.E. Priyono, adalah memunculkan kekuatan masyarakat sipil, meningkatkan konsolidasi dan menyusun agenda-agenda public secara bersama-sama. Saat ini kekuatan masyarakat sipil belum muncul karena kekuatan mereka terpecah sehingga proses demokrasi masih didominasi oleh kekuatan elit politik yang memiliki hak-hak istimewa (privileges).
“Pemunculannya, kalau menurut saya, tidak bisa tunggal ya. Misalnya dari atas, itu kayak liberal, tetapi harus dari bawah, dari masalah-masalah otentiknya sendiri karena dari sana akan muncul pemilihan-pemilihan (persoalan) otentik yang alterlatif dengan agenda-agenda yang relevan sesuai dengan masalah-masalah lokal. Kalau ini digalang akan muncul gerakan konsolidasi demokrasi yang non-elitis, dari bawah,” kata Priyono.
Prof. Peter Carey menuliskan pada buku Merancang Arah Baru Demokrasi, bab mengenai sejarah awal demokratisasi di Inggris yang diawali dengan dorongan oleh elit politik di negara itu untuk memberantas korupsi. Ia mengatakan, hal senada bisa dilakukan di Indonesia sebagai bagian di membangun demokrasi yang lebih sehat.
Menurut Guru Besar Tamu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut, untuk membangun demokrasi yang sehat di Indonesia diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan mengerti hak-haknya serta menggunakan hak-hak nya itu untuk mendesakkan agenda penting termasuk memberantas korupsi. Korupsi di Indonesia, menurut Carey, telah mengakibatkan negara terbesar keempat di dunia itu sulit mencapai kemajuan dalam banyak bidang dan banyak rakyat sengsara. Pemberantasan korupsi harus menjadi bagian penting demokratisasi di Indonesia.
“Kalau ada netizens, ada civil society yang kuat, orang yang akan korupsi akan dengan cepat bisa dilacak. Melalui internet kita bisa ada posting mengenai orang-orang yang terduga (korupsi) dan ini bisa dibuat melalui internet. Lebih terbuka kepada masyarakat dan masyarakat bisa memanfaatkan kekuatan mereka sebagai netizens mengedarkan berita mengenai orang-orang yang sebenarnya punya aura yang sedikit busuk,” kata Peter Carey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Pilar Melakukan Pengamanan Di Gudang Logistik Pilkada Kecamatan Cempaka Putih

Jakarta - Dalam rangka menjaga keamanan dan kelancaran Pilkada DKI Jakarta  serta mastikan keamanan logistik Pilkada DKI Jakarta anggota Pol...