YOGYAKARTA
Willy
Purna Samadhi, peneliti tentang Kekuasaan, Kesejahteraan dan Demokrasi (Power, Welfare and Democracy) Fisipol Universitas
Gajah Mada, dalam risetnya yang dilakukan tahun 2013 mendapatkan bahwa proses
demokrasi di Indonesia berlangsung tanpa peran serta publik atau masyarakat.
“Demokrasi
kita itu berlangsung tanpa satu aspek penting yaitu tidak adanya publik dalam
bentuk keterlibatan publik, partisipasi publik, keterwakilan publik. Bahkan
lebih parah lagi publiknya itu tidak ada karena terpecah dalam
kelompok-kelompok yang terkait dengan sentiment etnisitas, sentiment agama,
sentimen kelas, asal kedaerahan, dan seterusnya,” kata Willy.
Tidak
adanya partisipasi masyarakat dalam demokrasi di Indonesia, menurut Willy,
akibat depolisitasi selama era Orde Baru. Sementara pada era Reformasi lebih
banyak pembenahan hal-hal yang lebih bersifat instrumental seperti pembenahan
system pemilu yang juga diperlukan dalam demokratisasi, tetapi itu tidak cukup.
Menurut
Willy, masyarakat perlu didorong untuk lebih sadar pentingnya partisipasi
mereka dalam proses demokrasi. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah
melatih masyarakat mengikuti organisasi yang sesuai dengan kepentingannya.
Sementara
itu A.E. Priyono, direktur Riset Public Virtue Institut yang juga penyunting
buku Merancang Arah Baru Demokrasi mengatakan, model demokrasi yang dianut
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis yang serius dan diperlukan
masyarakat sipil yang kuat. Munculnya kelompok masyarakat sipil di perkotaan
yang aktif di media sosial harus diarahkan untuk mendesakkan agenda-agenda baru
yang menjadi kepentingan masyarakat luas.
Yang
dibutuhkan sekarang, menurut A.E. Priyono, adalah memunculkan kekuatan
masyarakat sipil, meningkatkan konsolidasi dan menyusun agenda-agenda public
secara bersama-sama. Saat ini kekuatan masyarakat sipil belum muncul karena
kekuatan mereka terpecah sehingga proses demokrasi masih didominasi oleh
kekuatan elit politik yang memiliki hak-hak istimewa (privileges).
“Pemunculannya,
kalau menurut saya, tidak bisa tunggal ya. Misalnya dari atas, itu kayak
liberal, tetapi harus dari bawah, dari masalah-masalah otentiknya sendiri karena
dari sana akan muncul pemilihan-pemilihan (persoalan) otentik yang alterlatif
dengan agenda-agenda yang relevan sesuai dengan masalah-masalah lokal. Kalau
ini digalang akan muncul gerakan konsolidasi demokrasi yang non-elitis, dari
bawah,” kata Priyono.
Prof.
Peter Carey menuliskan pada buku Merancang Arah Baru Demokrasi, bab mengenai
sejarah awal demokratisasi di Inggris yang diawali dengan dorongan oleh elit
politik di negara itu untuk memberantas korupsi. Ia mengatakan, hal senada bisa
dilakukan di Indonesia sebagai bagian di membangun demokrasi yang lebih sehat.
Menurut
Guru Besar Tamu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut, untuk
membangun demokrasi yang sehat di Indonesia diperlukan masyarakat sipil yang
kuat dan mengerti hak-haknya serta menggunakan hak-hak nya itu untuk
mendesakkan agenda penting termasuk memberantas korupsi. Korupsi di Indonesia,
menurut Carey, telah mengakibatkan negara terbesar keempat di dunia itu sulit
mencapai kemajuan dalam banyak bidang dan banyak rakyat sengsara. Pemberantasan
korupsi harus menjadi bagian penting demokratisasi di Indonesia.
“Kalau
ada netizens, ada civil society yang
kuat, orang yang akan korupsi akan dengan cepat bisa dilacak. Melalui internet
kita bisa ada posting mengenai orang-orang yang terduga (korupsi) dan ini bisa
dibuat melalui internet. Lebih terbuka kepada masyarakat dan masyarakat bisa
memanfaatkan kekuatan mereka sebagai netizens mengedarkan berita mengenai
orang-orang yang sebenarnya punya aura yang sedikit busuk,” kata Peter Carey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar