SEJARAWAN Takashi Shiraishi
mengingatkan kita akan pentingnya sejarah. Mempelajari sejarah bukan hanya
bicara tentang peristiwa masa lalu. Sejarah sebagai salah satu bagian dari ilmu
sosial memiliki pertautan dengan politik dan ekonomi.
“Sebenarnya,
itu suatu keuntungan bahwa kita bisa mengkombinasikan politik dan ekonomi dalam
studi sejarah. Saya mengambil apapun yang bisa berguna untuk riset saya,” kata
Takashi dalam Ceramah Umum Kesejarahan Masyarakat Sejarawan Indonesia di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis 9 November 2017.
Meski
sejak awal tertarik pada sejarah dan politik Indonesia, akademikus kelahiran
Ehime, Jepang, pada 1950 itu mulanya mendalami bidang hubungan internasional di
University of Tokyo pada 1972. Dia lalu mengajar di sana sejak 1979-1987.
Ketika
menempuh program doktoral di Cornell University, fokusnya mengerucut pada
politik kawasan. “Sejak awal saya telah tertarik pada sejarah dan politik
Indonesia. Mengenai studi saya selama ini, pertanyaan penting yang selalu saya
pikirkan adalah bagaimana kedua bidang ini dipadukan,” kata Takashi. Karena
itulah kemudian memilih untuk mendalami politik pergerakan nasional di
Indonesia untuk disertasinya.
Desertasinya
yang pada 1990 diterbitkan dengan judul An Age in Motion: Popular Radicalism
in Java 1912-1926 itu membuat namanya dikenal luas di kalangan
akademisi sejarah dan ilmu sosial di Indonesia. Tapi karya itu baru
diterjemahkan di Indonesia tujuh tahun kemudian dengan judul Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Dalam Zaman
Bergerak Takashi menjelaskan dinamika pergerakan rakyat di
Surakarta pada kurun 1912-26 melalui eksplanasi potret beragam ekspresi rakyat
yang dituangkan melalui berbagai medium: surat kabar, karya sastra, lagu-lagu,
rapat umum, serikat buruh, hingga pemberontakan terbuka. Pergerakan itu
menandai momen saat orang Indonesia mulai memandang dunia mereka dengan cara
baru. Cikal bakal nasionalisme, Islamisme, dan komunisme sebagai gerakan
politik dapat dirunut hingga periode ini.
“Seabad
lampau, pada 1910-an, orang-orang belum memiliki kata ‘Indonesia’. Tapi mereka
mulai berpikir bahwa mereka satu bangsa, suatu bangsa yang saat itu belum punya
nama. Itu adalah kemunculan politik modern di Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya,
pengetahuan akan sejarah politik masa itu bisa menjadi pembelajaran bagi
generasi Indonesia masa kini. Di masa itu orang-orang terpelajar mulai
mewacanakan tentang suatu tatanan masyarakat baru yang berbeda dari tatanan
kolonial. Bersamaan dengan lahirnya gerakan politik modern itu terbit pula
berbagai ide tentang “Bangsa Indonesia”. Karena itulah sejarah jadi penting
untuk dipelajari generasi kiwari untuk memahami perspektif itu.
“Generasi
masa kini bisa jadi memiliki ide-idenya sendiri yang berbeda dari generasi
sebelumnya, tetapi itu tidak terlepas dari warisan sejarahnya. Maka itu, tentu
Anda perlu mengetahui sejarah, kan...,” kata Takashi.
Karya
lain dari Takashi yang membahas sejarah Indonesia adalah Hantu
Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial. Dengan
memanfaatkan arsip dan beragam catatan yang berserak dari mereka yang pernah
mengecap pembuangan di sana, lewat buku ini Takashi berupaya memotret Digoel
sebagai kamp konsentrasi untuk para aktivis pergerakan yang dianggap radikal
pada masa kolonial. Dia juga membahas apa yang disebutnya “politik pengamanan
politik” dan represi yang diterapkan pemerintah kolonial pasca pemberontakan
PKI 1926.
Usai
menyelesaikan pendidikan doktoralnya, Takashi kemudian mengajar di Cornell
sejak 1987 hingga 1998. Ia juga tercatat menjadi pengajar di Kyoto University
sejak 1996 dan pada 2005 bergabung dengan National Graduate Institute for
Policy Studies (GRIPS) yang berpusat di Tokyo.
GRIPS,
yang didirikan pada 1997 untuk mempromosikan riset kebijakan skala global,
adalah lembaga kajian yang bertujuan memberikan kontribusi untuk kemajuan
pemerintahan demokratis di seluruh dunia. GRIPS memberikan pendidikan
interdisiplin bagi pengambil kebijakan sektor publik dan mengadakan riset-riset
dalam isu kebijakan kontemporer untuk menghasilkan solusi-solusi inovatif.
Fokus Takashi di GRIPS bergeser pada masalah-masalah kebijakan dan ekonomi.
Selain
itu, sejak 2007 hingga sekarang dia menjabat sebagai presiden Institute of
Developing Economies-JETRO. Sebagai profesor politik, Takashi tetap melibatkan
diri pada riset-riset soal hubungan internasional dan politik kawasan Asia
Timur kendati nafas sejarah tetap berhembus di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar