Judul
Buku : Moral Islam dalam Lakon Bima
Suci
Penulis : Dr. Teguh, M.Ag.
Penerbit
: Pustaka Pelajar, 2007
Halaman : 200
Buku
yang berjudul Moral Islam dalam Lakon Bima Suci ini pada awalnya merupakan
disertasi yang ditulis oleh Teguh dalam rangka menyelesaikan Program
Pascasarjana (S-3) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, namun tidak dalam keadaan
utuh, melainkan telah mengalami revisi dan beberapa pengurangan.
Penelitian
ini berangkat dari tesis bahwa dalam menyebarkan ajaran Islam, para mubaligh
zaman dulu menggunakan media wayang. Wayang, selain sebagai tontonan, juga
diyakini sebagai tuntunan, artinya wayang dapat dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan pesan-pesan moral, diantaranya moral Jawa dan moral Islam.
Di
dalam wayang sendiri, terdapat bermacam-maca lakon (cerita), salah satunya
adalah lakon Bima Suci yang dijadikan objek kajian dalam buku ini. Lakon Bima
Suci menceritakan tentang seseorang guru sejati bernama Bima (dalam hal ini,
sosok Bima digambarkan telah menyatu dengan Tuhannya/ Manunggaling Kawula
Gusti) mengajarkan kaweruh (pengetahuan) kepada muridnya di sebuah pertapaan
bernama Argakelasa.
Berangkat
dari tesis tersebut, Teguh merumuskan beberapa pertanyaan yaitu: apa alasan
orang menggunakan wayang sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral
Islam? Bagaimana hubungan antara moral Islam dengan moral Jawa dalam wayang
berlakon Bima Suci? Apa saja moral Islam yang terkandung dalam wayang berlakon
Bima Suci?
Hasil
penelitian dari rumusan masalah di atas adalah:
1. Alasan orang menggunakan wayang sebagai
media menyampaikan pesan-pesan Islam adalah: pertama, wayang telah membuktikan
diri sebagai sebuah pertunjukan seni budaya yang mapan dan banyak diminati oleh
banyak orang mulai zaman Erlangga, Majapahit, Demak, Mataram bahkan hingga saat
ini. seiring dengan perkembangan zaman tersebut, unsur pertunjukan dalam wayang
pun juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan sebagai wujud dari adanya
kreativitas para dalang secara khusus dan para pecinta wayang secara umum.
Kondisi semacam ini memberikan kesempatan yang luas bagi seseorang untuk
menyampaikan nilai-nilai moral Islam ke dalam wayang sebagai sebuah tuntunan
dalam bentuk tontonan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mberbuat bagi
semua orang. Kedua, bahwa pada masa-masa awal penyebaran Islam di Jawa dan
bahkan juga sampai dengan saat sekarang, bentuk dakwah kultural dipandang lebih
tepat dibandingkan dengan bentuk dakwah lainnya seperti lewat politik dan
ekonomi. Sebab dakwah kultural lebih banyak melibatkan masyarakat sasaran, di
samping itu juga didukung adanya kecenderungan orang Jawa yang sangat mencintai
dan mempertahankan budayanya. Ketiga, karena kandungan simbolik dalam wayang
yang tidak pernah kering untuk suatu interpretasi yang hampir tak terbatas
dalam kebutuhan manusia di saat melakukan refleksi dengan dirinya sendiri,
dengan alam sekitarnya, dengan masyarakatnya, dengan negaranya dan dengan
pencipta-Nya, sehingga banyak orang merasakan selalu mendapatkan ruang yang
cukup untuk dapat menyampaikan pesan-pesan moral Islam kepada masyarakat
2. Pola hubungan antara moral Islam dengan
moral Jawa dalam lakon Bima Suci adalah keterkaitan yang bersifat imperatif
moral atau mewarnai. Moral Islam dan moral Jawa dalam lakon Bima Suci
menunjukkan bahwa ajaran dari keduanya secara normatif maupun historis dengan
semangat universalitasnya sangat menghargai pluralitas, berdiri dalam kemandiriannya
masing-masing. Universalitas tidak berarti berada dalam satu payung kebenaran
relatif yang ekslusif dan adanya truth claim, melainkan kebenaran universal
merupakan sumber kebenaran yang tertinggi, yang dijadikan starting point untuk
menarik kebenaran relatif melalui kreativitas ijtihad yang bersifat partikular
pada berbagai kehidupan umat manusia.
3. Moral Islam yang terdapat di dalam lakon
Bima Suci ada dalam bentuknya yang tersurat maupun yang tersirat. Konsep hulul
dalam tasawuf menjadi prinsip utama ajaran dalam lakon Bima Suci. Adapun moral
Islam yang terkandung di dalamnya antara lain:
a. Syariat
1) Ajaran tentang kewajiban menuntun ilmu
2) Ajaran tentang keimanan
3) Ajaran tentang kewajiban mengamalkan ilmu
yang diperoleh
4) Ajaran tentang menjauhkan diri dari
perbuatan tercela
5) Ajaran tentang setya legawa
6) Ajaran tentang hormat kepada guru
7) Ajaran tentang sabar
8) Ajaran tentang berbudi bawa laksana
9) Ajaran untuk berlaku adil
10) Ajaran untuk sopan santun
11) Ajaran untuk rukn
12) Ajaran untuk memperoleh keselamatan
b. Tarekat
1) Ajaran untuk menyesali diri dan bertaubat
2) Mengendalikan nafsu
3) Kepasrahan diri secara total
c. Hakikat
1) Ajaran tauhid dan hakikat Tuhan
2) Ajaran tentang asal kejadian dan hakikat
manusia
d. Ma’rifat
1) Ajaran tentang fana
2) Ajaran tentang ittihad dan hulul
Bila
seseorang telah mampu melaksanakan keempat ajaran tersebut, maka ia akan sampai
pada tujuannya, yaitu sebagai insan kamil (manusia yang berjiwa sempurna).
Demikian
hasil penelitian yang dijabarkan dalam buku Moral Islam dalam Lakon Bima Suci.
Secara umum, tulisan Teguh telah memberikan sumbangan pengetahuan baru tentang
Islam dan Jawa. Penelitian ini melihat hubungan Islam dan budaya lokal secara
harmonis, bukan dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi
unsur-unsur luar seperti Islam. Islam tidak dipandang sebagai “teks besar”
dengan kebudayaan setempat sebagai “teks kecil” dan tidak lagi dilihat dalam
rangka “penundukkan”, tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya eskpresi
Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya
dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Jawa. Di sini Islam juga tidak
saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara
kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur “rendah” yang harus mengalah
kepada Islam, sebab genius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur
baru. Jadi, hubungan diantara keduanya memperlihatkan adanya “dialog”.
Dalam
buku ini, tidak ada penjelasan metodologi langkah-langkah penelitian secara
rinci, namun penulis melihat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian
library research dengan sumber primer yakni Serat Pedhalangan versi
Surakarta yang dianggap lebih tua dibanding versi lainnya. Penelitian ini juga
menggunakan pendekatan tasawuf. Di sini Teguh menggunakan konsep tasawuf
al-Ghazali sebagai kerangka teorinya, namun dalam buku ini ia tidak menjabarkan
secara rinci konsep tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar