Jumat, 07 September 2018

Moral Islam dalam Lakon Bima Suci




Judul Buku   : Moral Islam dalam Lakon Bima Suci
Penulis      : Dr. Teguh, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar,  2007
Halaman  : 200
Buku yang berjudul Moral Islam dalam Lakon Bima Suci ini pada awalnya merupakan disertasi yang ditulis oleh Teguh dalam rangka menyelesaikan Program Pascasarjana (S-3) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, namun tidak dalam keadaan utuh, melainkan telah mengalami revisi dan beberapa pengurangan.
Penelitian ini berangkat dari tesis bahwa dalam menyebarkan ajaran Islam, para mubaligh zaman dulu menggunakan media wayang. Wayang, selain sebagai tontonan, juga diyakini sebagai tuntunan, artinya wayang dapat dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral, diantaranya moral Jawa dan moral Islam. 
Di dalam wayang sendiri, terdapat bermacam-maca lakon (cerita), salah satunya adalah lakon Bima Suci yang dijadikan objek kajian dalam buku ini. Lakon Bima Suci menceritakan tentang seseorang guru sejati bernama Bima (dalam hal ini, sosok Bima digambarkan telah menyatu dengan Tuhannya/ Manunggaling Kawula Gusti) mengajarkan kaweruh (pengetahuan) kepada muridnya di sebuah pertapaan bernama Argakelasa. 
Berangkat dari tesis tersebut, Teguh merumuskan beberapa pertanyaan yaitu: apa alasan orang menggunakan wayang sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral Islam? Bagaimana hubungan antara moral Islam dengan moral Jawa dalam wayang berlakon Bima Suci? Apa saja moral Islam yang terkandung dalam wayang berlakon Bima Suci?
Hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah:
1.   Alasan orang menggunakan wayang sebagai media menyampaikan pesan-pesan Islam adalah: pertama, wayang telah membuktikan diri sebagai sebuah pertunjukan seni budaya yang mapan dan banyak diminati oleh banyak orang mulai zaman Erlangga, Majapahit, Demak, Mataram bahkan hingga saat ini. seiring dengan perkembangan zaman tersebut, unsur pertunjukan dalam wayang pun juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan sebagai wujud dari adanya kreativitas para dalang secara khusus dan para pecinta wayang secara umum. Kondisi semacam ini memberikan kesempatan yang luas bagi seseorang untuk menyampaikan nilai-nilai moral Islam ke dalam wayang sebagai sebuah tuntunan dalam bentuk tontonan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mberbuat bagi semua orang. Kedua, bahwa pada masa-masa awal penyebaran Islam di Jawa dan bahkan juga sampai dengan saat sekarang, bentuk dakwah kultural dipandang lebih tepat dibandingkan dengan bentuk dakwah lainnya seperti lewat politik dan ekonomi. Sebab dakwah kultural lebih banyak melibatkan masyarakat sasaran, di samping itu juga didukung adanya kecenderungan orang Jawa yang sangat mencintai dan mempertahankan budayanya. Ketiga, karena kandungan simbolik dalam wayang yang tidak pernah kering untuk suatu interpretasi yang hampir tak terbatas dalam kebutuhan manusia di saat melakukan refleksi dengan dirinya sendiri, dengan alam sekitarnya, dengan masyarakatnya, dengan negaranya dan dengan pencipta-Nya, sehingga banyak orang merasakan selalu mendapatkan ruang yang cukup untuk dapat menyampaikan pesan-pesan moral Islam kepada masyarakat
2.   Pola hubungan antara moral Islam dengan moral Jawa dalam lakon Bima Suci adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai. Moral Islam dan moral Jawa dalam lakon Bima Suci menunjukkan bahwa ajaran dari keduanya secara normatif maupun historis dengan semangat universalitasnya sangat menghargai pluralitas, berdiri dalam kemandiriannya masing-masing. Universalitas tidak berarti berada dalam satu payung kebenaran relatif yang ekslusif dan adanya truth claim, melainkan kebenaran universal merupakan sumber kebenaran yang tertinggi, yang dijadikan starting point untuk menarik kebenaran relatif melalui kreativitas ijtihad yang bersifat partikular pada berbagai kehidupan umat manusia.
3.   Moral Islam yang terdapat di dalam lakon Bima Suci ada dalam bentuknya yang tersurat maupun yang tersirat. Konsep hulul dalam tasawuf menjadi prinsip utama ajaran dalam lakon Bima Suci. Adapun moral Islam yang terkandung di dalamnya antara lain:
a.   Syariat
1)   Ajaran tentang kewajiban menuntun ilmu
2)   Ajaran tentang keimanan
3)   Ajaran tentang kewajiban mengamalkan ilmu yang diperoleh
4)   Ajaran tentang menjauhkan diri dari perbuatan tercela
5)   Ajaran tentang setya legawa
6)   Ajaran tentang hormat kepada guru
7)   Ajaran tentang sabar
8)   Ajaran tentang berbudi bawa laksana
9)   Ajaran untuk berlaku adil
10)  Ajaran untuk sopan santun
11)  Ajaran untuk rukn
12)  Ajaran untuk memperoleh keselamatan
b.   Tarekat
1)   Ajaran untuk menyesali diri dan bertaubat
2)   Mengendalikan nafsu
3)   Kepasrahan diri secara total
c.   Hakikat 
1)   Ajaran tauhid dan hakikat Tuhan
2)   Ajaran tentang asal kejadian dan hakikat manusia
d.   Ma’rifat
1)   Ajaran tentang fana
2)   Ajaran tentang ittihad dan hulul
Bila seseorang telah mampu melaksanakan keempat ajaran tersebut, maka ia akan sampai pada tujuannya, yaitu sebagai insan kamil (manusia yang berjiwa sempurna).
Demikian hasil penelitian yang dijabarkan dalam buku Moral Islam dalam Lakon Bima Suci. Secara umum, tulisan Teguh telah memberikan sumbangan pengetahuan baru tentang Islam dan Jawa. Penelitian ini melihat hubungan Islam dan budaya lokal secara harmonis, bukan dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Islam tidak dipandang sebagai “teks besar” dengan kebudayaan setempat sebagai “teks kecil” dan tidak lagi dilihat dalam rangka “penundukkan”, tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya eskpresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Jawa. Di sini Islam juga tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur “rendah” yang harus mengalah kepada Islam, sebab genius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. Jadi, hubungan diantara keduanya memperlihatkan adanya “dialog”.
Dalam buku ini, tidak ada penjelasan metodologi langkah-langkah penelitian secara rinci, namun penulis melihat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research dengan sumber primer yakni Serat Pedhalangan versi Surakarta yang dianggap lebih tua dibanding versi lainnya. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan tasawuf. Di sini Teguh menggunakan konsep tasawuf al-Ghazali sebagai kerangka teorinya, namun dalam buku ini ia tidak menjabarkan secara rinci konsep tersebut. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polres Tangsel Bersama Bea Dan Cukai Sita 642 Kg Ganja, 7,8 Kg Sabu dan 1,1 Kg MDMA, Ungkap Penyalahgunaan Narkotika

Tangsel - Dalam dua bulan terakhir satuan reserse narkoba (Sat Res Narkoba) Polres Tangerang Selatan berhasil mengungkap perkara menonjol te...