Minggu, 10 Juni 2018


DAWAM
Penghormatan buat M. Dawam Rahardjo, (20 April 1942 — 30 Mei 2018).
Dawam tumbuh dari sebuah generasi yang beruntung, meskipun tak dengan sendirinya berbahagia. Beruntung karena — lebih dari generasi yang kini disebut milenial — ia sempat menyaksikan dan terlibat dalam sebuah masa ketika ide bukan cuma bicara di kepala, tapi diuji dalam pengalaman dan memberi makna kepada hidup.
Tapi tak dengan sendirinya berbahagia. Ketika ide bertaut dengan tindakan untuk masa depan sebuah “tanah tumpah darah”, banyak kerja yang harus dilakukan, juga banyak kepedihan yang terjadi dan cita-cita bersama yang tak sampai.
Saya bertemu Dawam pertama kali di tahun 1967. Ia lulusan fakultas ekonomi, tapi segera tampak ia bukan cuma itu. Ia membaca, menulis, mencari.
Di akhir tahun 1960-an itu ia menerjemahkan untuk majalah sastra Horison satu fragmen karya sastrawan besar Yunani, Nikos Kazantzakis, “The Last Temptation of Christ.” Kazantzakis dikecam para padri Geraja Ortodox, tapi ia tak peduli: ia melihat dirinya “religius.”
Saya tak tahu adakah bekas Kazantzakis pada Dawam dalam memandang doktrin agama. Mungkin ada. Kelak ia, tokoh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim), berani menyimpang dari prasangka umum: ia bela kaum Syi’ah dan Ahamdiah ketika minoritas ini diserang golongan Islam yang memegang hegemoni doktrin. Tampaknya, bagi Dawam, ICMI, meskipun didirikan dengan restu Suharto, bukan sebuah proyek politik, tapi ikhtiar merapatkan Islam dengan kecendekiawanan. Bagi Dawam, seorang intelektuil publik bukan cuma cerdas, tapi juga punya empati kepada mereka yang disingkirkan.
Saya tak tahu apakah sikap ini mengejutkan. Dawam dibesarkan di lingkungan yang dalam kategorisasi sosial kota Sala, tempat lahirnya, disebut “santri”. Ia tumbuh di kalangan saudagar yang akrab dengan gerakan Muhammadiyah, yang semangatnya mengutamakan “kemurnian” ajaran. Agaknya Dawam remaja seorang anggota Pelajar Islam Indonesia (PII). Di masa SMA, ia belajar di AS dalam program AFS (pertukaran siswa yang disponsori Kementerian Luar Negeri AS), kesempatan yang waktu itu umumnya diberikan kepada anggota PII — tanda betapa dekatnya Amerika, dalam menghadapi komunisme, dengan organisasi-organisasi Islam. Tapi dengan latar itu pula tampak Dawam tanpa canggung membuka pikirannya, menjelajah ide-ide, melintasi sekat ideologi.
“Ideologi” kata yang sakti di percakapan sosial masa muda Dawam. Ini zaman “Perang Dingin”: di satu kubu, bergerak kekuatan yang dipimpin Amerika Serikat; di kubu lain, dipimpin Uni Soviet — yang sering dibaca sebagai pergulatan antara komunisme dan antikomunisme.
Dunia dicekam rasa takut. Perang nuklir sewaktu-waktu bisa meletus dan bumi hancur. Juga ada rasa cemas kehidupan akan berubah secara radikal oleh ide-ide: mungkin komunisme, mungkin sosialisme dalam pelbagai variannya, mungkin “liberalisme” yang tak persis garisnya. “Perang Dingin” juga perang sengit wacana, melalui buku, majalah, film, senirupa, seminar, kongres-kongres.
Waktu itu tak tampak ketegangan itu akan berakhir. Tak disangka pada 1989 Uni Soviet runtuh tanpa dibom, dan komunisme dicampakkan dari Kremlin, dan negeri itu dilahirkan jadi Rusia, tanpa ideologi. Sebelum 1989, dunia dihantui perang setengah terbatas. Korea pecah (sampai sekarang), juga Vietnam dan Tiongkok. Rezim jatuh bangun di dunia Arab, di Eropa Timur, di Amerika Latin.
Pada masa itu, melalui akhir 1950-an, Dawam dan generasinya hidup dengan latar yang gemuruh dan mendebarkan itu. Partai Komunis kian menguat, kian dominan; Amerika gagal mendukung kekuatan antikomunis, terutama dalam gerakan PRRI dan Permesta yang dipelopori militer. Marxisme dan ide sosialisme jadi wacana utama: di bawah “Demokrasi Terpimpin” Bung Karno, program “indoktrinasi” wajib, dan Marxisme salah satu dari “tujuh bahan pokok”.
Marxisme punya daya pikatnya sendiri. Saya tak tahu sejauh mana Dawam tertarik kepadanya, tapi ia pasti tak asing dengan itu: di kalangan organisasi Islam waktu itu, tak semua menganggap Marxisme racun. Saya kenal seorang sahabat Dawam satu kota, seorang tokoh HMI, yang membaca tekun buku pemimpin Partai Komunis Tiongkok dalam versi Inggris, How To be a Good Communist.
Saya ingat Althusser: ideologi adalah proses sosial yang menyeru individu dan mengubahnya jadi subyek — satu proses “interpelasi”. Tapi ideologi juga instrumen pengendalian kesadaran dan mobilisasi massal — alat yang membuat kehidupan yang rumit jadi terlalu sederhana diuraikan. Subyek yang ditumbuhkannya tak melihat bahwa kehidupan (“realitas”) terdiri dari tanda-tanda yang ditafsirkan. Dan tafsir adalah proses kebenaran yang tak selesai. Mengklaim tafsir sudah usai sama dengan membangun kesadaran palsu.
Agama punya kemungkinan seperti itu, ketika iman berubah jadi ideologi. Saya lihat Dawam termasuk yang berusaha mencegahnya. Ia ditempa zaman ideologi, ia sadar akan kekuatan ide-ide di dalamnya, tapi ia tahu ide datang dari wilayah simbolik yang harus ditafsir terus. Ia seorang muslim yang tak kehilangan kepercayaan kepada kemerdekaan manusia. ( Goenawan Mohamad )

Presiden Saat Melayat Di Kediaman Alm.Dawam Raharjo





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warga Diimbau Gunakan Transportasi Umum Saat Pesta Rakyat Pelantikan Presiden

Jakarta - Pesta rakyat akan digelar saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Rak...