Sabtu, 27 Desember 2025

Nawal El-Saadawi: Suara Perempuan di Tengah Patriarki Mesir


 Mesir dan masa lalu tidak bisa terlupakan dengan budayanya yang patriarki. Beberapa gerakan perempuan di Mesir menjadi indikasi kuat bahwa ia lahir dari situasi negeri piramid, baik secara struktural ataupun kultural yang masih menomorduakan perempuan dalam segala lini aspek kehidupan.

Sebut saja, Rifa’ah Al-Tahtawi yang memelopori gerakan pembaharuan di Mesir, dengan mengusung salah satu gerakannya: pembaharuan terhadap kondisi perempuan dan mengusahakan hak-haknya sebagaimanya yang syari’at Islam ajarkan. Di sisi lain ia juga menulis Al-Mursyid Al-Amin Lil Banat Wal Banin (1872), yang di dalamnya terkandung sebuah paham bahwa reformasi terhadap kondisi kaum perempuan dan memperbaiki nasibnya adalah suatu hal yang sangat fundamental.

Setelah itu, muncul tokoh yang bernama Qosim Amin yang menggulirkan beberapa pemikiran sebagai bentuk gerakan pembebasan untuk perempuan pada zamannya di Mesir. Ia menyoal ulang persoalan jilbab bagi perempuan, membatasi hak suami atas talak dalam hubungan pernikahan, dan mengkritik maraknya praktik poligami. Ketiga pemikiranya tertuang dalam sebuah karya yang berjudul “Tahriru Al-Mar’ah” (Hasyim, Dkk 1999).

Estafet gerakan perempuan pun, dilanjutkan oleh beberapa tokoh pembaharu setelahnya. Seperti, Muhammad Abduh, Malak Hafni Nasif, dan bahkan disuarakan lantang oleh sosok perempuan, seperti Nawal El-Sadawi yang selalu memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.

Namun demikian seperti yang sudah disebutkan di muka, beberapa gerakan yang dopromotori perempuan masih menjadi catatan minor dalam lanskap sejarah dunia Islam. Dari sini, penulis hendak membeberkan hadirnya revolusioner perempuan yang lahir dari kepungan budaya patriarki di negerinya sendiri, yaitu Nawal El-Sadawi.

Nawal El-Sadawi

Nawal El-Sadawi lahir dari keluarga kelas menengah ke atas di Mesir, ia lahir dari sosok ayah yang berpendidikan dan seorang ibu yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah Perancis. Di samping itu ayahnya menjabat dalam struktur pemerintahan di Kementerian Pendidikan yang berjuang melawan raja Inggris pada revolusi 1919. Akibat perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, ayahnya diasingkan dan tidak dipromosikan selama 10 tahun di Delta Sungai Nil, sebuah kota kecil di Mesir. Namun dari kesaksian terhadap pengalaman ayahnya, ia belajar dan tumbuh untuk menjadi seorang perempuan yang berani dan mau berpikir.

Dengan mengawali perjalanan intelektualnya di Universitas Cairo Medical School pada tahun 1949 dan lulus pada tahun 1955, ia berhasil menyandang gelar MD, setelahnya ia berlatih menjadi dokter medis selama dua tahun. Selanjutnya, pada tahun 1963 sampai 1972 ia belajar di Universitas Coloumbia New York, dan pada saat yang bersamaan ia juga bekerja untuk pemerintahan Mesir sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Putri, Nurhuda, 2023).

Dari perjalanan kiprahnya, ia melihat dan merasa adanya kejanggalan dalam realitas empiris yang ia jalani. Di balik bayang-bayang traumatis, Ia pun menyuarakan suaranya melalui beberapa karya karya fiksi salah satunya, untuk mengubah tradisi yang cenderung menyakiti perempuan.

Suara Nawal El-Sadawi yang Mengguncang Dunia

Sebagai Perempuan yang lahir di lingkungan budaya patriarki, Nawal dengan karya-karyanya pun mampu mengguncang stabilitas konstruk sosial yang membentuk relasi laki-laki dan perempuan di Mesir.

Salah satunya ia bersikap menolak keras terhadap praktik sunat perempuan yang dibungkus oleh bingkai agama dan budaya. Pasalnya pada saat ia berusia enam tahun, ia menjadi korban penyunatan perempuan, ia diperlakukan layaknya bukan manusia dan itulah yang dirasakan pula oleh saudara-saudara perempuannya. Dari insiden yang traumatis itulah, ia berusaha mengubah praktek yang menyakitkan sekaligus beresiko menghilangkan nyawa perempuan tersebut, dengan bukti ilmu-ilmu kedokterannya.

Selain itu, ia juga seringkali menyaksikan aksi kekerasan seksual terhadap anak perempuan di kelindan negerinya. Di sisi lain sikap kasar ayahnya terhadap ibunya, menjadikan tekad ia menyuarakan hak-hak perempuan semakin bulat. Melalui karya-karyanya ia yakin bahwa fakta dan fiksi tidak dapat dipisahkan, sama halnya dengan tubuh dan pikiran maka ia menulis fiksi untuk mengatakan fakta yang sebenarnya.

Dan akhirnya, beberapa pemikiran dan suaranya mampu terdengar hampir di seluruh lapisan dunia, termasuk di Indonesia. Lebih dari itu, Nawal dan pemikirannya banyak menjadi rujukan bagi Gerakan Perempuan di dunia Islam yang memperjuangkan hak-hak Perempuan yang selama ini terabaikan. 

Memperjuangkan Kedudukan Perempuan

Pada salah satu karyanya “Perempuan di Titik Nol” (2019) yang sangat terkenal sekaligus kontroversi ini, Nawal membeberkan fakta yang terjadi di negerinya melalui fiksi dengan tokoh utamanya, yaitu Firdaus.

Firdaus dalam cerita ini mengalami manifestasi ketidak adilan gender. Karena tidak ingin terus menerus tertindas dan tersakiti ia memilih bangkit dan melawan untuk menyuarakan hak dan harga dirinya sebagai perempuan. Sehingga Firdaus berhasil terlepas dari kuatnya dominasi laki-laki dan ia berhasil mengaktualisasikan dirinya di tengah kepungan budaya patriarki yang ada di Mesir.

Kisah Firdaus yang diangkat Nawal dalam fiksinya, adalah bentuk perlawanan sunyi perempuan yang lahir dari situasi pelik yang ia dan Perempuan lainnya rasakan. Suara itu menjelma dalam teks yang berbisik, bahwa kehidupan perempuan juga sangat bermakna. Sebab baginya, perempuan bukan hanya entitas kosong yang tidak memiliki eksistensi dan esensi.

Hal ini sejalan dengan nilai Islam yang memandang setara antara hak perempuan dan laki-laki dalam ranah privat maupun publik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Al-Ḥujurāt [49]:13).

Dalam persoalan laki-laki dan perempuan, al-Qur’an telah membeberkan pandangan yang sangat egaliter dalam membangun relasi antara laki-laki dan Perempuan, baik dalam ranah privat ataupun publik (Muhammad, 2019).

Artinya, segala bentuk tradisi yang cenderung mengesampingkan Perempuan dengan perannya, ia tidak memiliki legitimasi dari paham agama. Kendati pun agama seringkali dijadikan bingkai untuk melegitimasi tradisi-tradisi tersebut. Dengan logika demikian, langkah Nawal El-Sadawi untuk membongkar budaya yang sarat akan diskriminasi di negerinya, sama sekali tidak bertentangan dengan paham agama yang sudah terlanjur dipahami di negerinya secara mayoritas.

Penulis: Muhammad Asyrofudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keluarga Pemegang kendali Keuangan Dunia

  Keluarga Rothschild  adalah  dinasti perbankan  paling terkenal di Eropa. Selama sekitar 200 tahun keluarga Rothschild memiliki pengaruh b...