Sebut saja, Rifa’ah
Al-Tahtawi yang memelopori gerakan pembaharuan di Mesir, dengan mengusung salah
satu gerakannya: pembaharuan terhadap kondisi perempuan dan mengusahakan
hak-haknya sebagaimanya yang syari’at Islam ajarkan. Di sisi lain ia juga
menulis Al-Mursyid Al-Amin Lil Banat Wal Banin (1872),
yang di dalamnya terkandung sebuah paham bahwa reformasi terhadap kondisi kaum
perempuan dan memperbaiki nasibnya adalah suatu hal yang sangat fundamental.
Setelah itu, muncul
tokoh yang bernama Qosim Amin yang menggulirkan beberapa pemikiran sebagai
bentuk gerakan pembebasan untuk perempuan pada zamannya di Mesir. Ia menyoal
ulang persoalan jilbab bagi perempuan, membatasi hak suami atas talak dalam
hubungan pernikahan, dan mengkritik maraknya praktik poligami. Ketiga
pemikiranya tertuang dalam sebuah karya yang berjudul “Tahriru Al-Mar’ah” (Hasyim, Dkk 1999).
Estafet gerakan
perempuan pun, dilanjutkan oleh beberapa tokoh pembaharu setelahnya. Seperti,
Muhammad Abduh, Malak Hafni Nasif, dan bahkan disuarakan lantang oleh sosok
perempuan, seperti Nawal El-Sadawi yang selalu memperjuangkan nilai-nilai
keadilan dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
Namun demikian
seperti yang sudah disebutkan di muka, beberapa gerakan yang dopromotori
perempuan masih menjadi catatan minor dalam lanskap sejarah dunia Islam. Dari
sini, penulis hendak membeberkan hadirnya revolusioner perempuan yang lahir
dari kepungan budaya patriarki di negerinya sendiri, yaitu Nawal El-Sadawi.
Nawal El-Sadawi
Nawal El-Sadawi
lahir dari keluarga kelas menengah ke atas di Mesir, ia lahir dari sosok ayah
yang berpendidikan dan seorang ibu yang menjadi pengajar di sekolah-sekolah
Perancis. Di samping itu ayahnya menjabat dalam struktur pemerintahan di Kementerian
Pendidikan yang berjuang melawan raja Inggris pada revolusi 1919. Akibat
perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, ayahnya diasingkan dan tidak
dipromosikan selama 10 tahun di Delta Sungai Nil, sebuah kota kecil di Mesir.
Namun dari kesaksian terhadap pengalaman ayahnya, ia belajar dan tumbuh untuk
menjadi seorang perempuan yang berani dan mau berpikir.
Dengan mengawali
perjalanan intelektualnya di Universitas Cairo Medical School pada tahun 1949
dan lulus pada tahun 1955, ia berhasil menyandang gelar MD, setelahnya ia
berlatih menjadi dokter medis selama dua tahun. Selanjutnya, pada tahun 1963
sampai 1972 ia belajar di Universitas Coloumbia New York, dan pada saat yang
bersamaan ia juga bekerja untuk pemerintahan Mesir sebagai Direktur Jenderal
Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Putri, Nurhuda, 2023).
Dari perjalanan kiprahnya, ia melihat dan merasa adanya
kejanggalan dalam realitas empiris yang ia jalani. Di balik bayang-bayang
traumatis, Ia pun menyuarakan suaranya melalui beberapa karya karya fiksi salah
satunya, untuk mengubah tradisi yang cenderung menyakiti perempuan.
Suara Nawal El-Sadawi yang Mengguncang Dunia
Sebagai Perempuan yang lahir di lingkungan budaya patriarki,
Nawal dengan karya-karyanya pun mampu mengguncang stabilitas konstruk sosial yang
membentuk relasi laki-laki dan perempuan di Mesir.
Salah satunya ia bersikap menolak keras terhadap praktik sunat
perempuan yang dibungkus oleh bingkai agama dan budaya. Pasalnya pada saat ia
berusia enam tahun, ia menjadi korban penyunatan perempuan, ia diperlakukan
layaknya bukan manusia dan itulah yang dirasakan pula oleh saudara-saudara
perempuannya. Dari insiden yang traumatis itulah, ia berusaha mengubah praktek
yang menyakitkan sekaligus beresiko menghilangkan nyawa perempuan tersebut,
dengan bukti ilmu-ilmu kedokterannya.
Selain itu, ia juga seringkali menyaksikan aksi kekerasan
seksual terhadap anak perempuan di kelindan negerinya. Di sisi lain sikap kasar
ayahnya terhadap ibunya, menjadikan tekad ia menyuarakan hak-hak perempuan
semakin bulat. Melalui karya-karyanya ia yakin bahwa fakta dan fiksi tidak
dapat dipisahkan, sama halnya dengan tubuh dan pikiran maka ia menulis fiksi
untuk mengatakan fakta yang sebenarnya.
Dan akhirnya, beberapa pemikiran dan suaranya mampu terdengar
hampir di seluruh lapisan dunia, termasuk di Indonesia. Lebih dari itu, Nawal
dan pemikirannya banyak menjadi rujukan bagi Gerakan Perempuan di dunia Islam
yang memperjuangkan hak-hak Perempuan yang selama ini terabaikan.
Memperjuangkan Kedudukan Perempuan
Pada salah satu karyanya “Perempuan di Titik Nol” (2019)
yang sangat terkenal sekaligus kontroversi ini, Nawal membeberkan fakta yang
terjadi di negerinya melalui fiksi dengan tokoh utamanya, yaitu Firdaus.
Firdaus dalam cerita ini mengalami manifestasi ketidak adilan gender. Karena tidak ingin terus menerus tertindas dan tersakiti ia memilih bangkit dan melawan untuk menyuarakan hak dan harga dirinya sebagai perempuan. Sehingga Firdaus berhasil terlepas dari kuatnya dominasi laki-laki dan ia berhasil mengaktualisasikan dirinya di tengah kepungan budaya patriarki yang ada di Mesir.
Kisah Firdaus yang diangkat Nawal dalam fiksinya, adalah bentuk
perlawanan sunyi perempuan yang lahir dari situasi pelik yang ia dan Perempuan
lainnya rasakan. Suara itu menjelma dalam teks yang berbisik, bahwa kehidupan
perempuan juga sangat bermakna. Sebab baginya, perempuan bukan hanya entitas
kosong yang tidak memiliki eksistensi dan esensi.
Hal ini sejalan dengan nilai Islam yang memandang setara antara
hak perempuan dan laki-laki dalam ranah privat maupun publik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا
وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Al-Ḥujurāt
[49]:13).
Dalam persoalan laki-laki dan perempuan, al-Qur’an telah
membeberkan pandangan yang sangat egaliter dalam membangun relasi antara
laki-laki dan Perempuan, baik dalam ranah privat ataupun publik (Muhammad,
2019).
Artinya, segala bentuk tradisi yang cenderung
mengesampingkan Perempuan dengan perannya, ia tidak memiliki legitimasi dari
paham agama. Kendati pun agama seringkali dijadikan bingkai untuk melegitimasi
tradisi-tradisi tersebut. Dengan logika demikian, langkah Nawal El-Sadawi untuk
membongkar budaya yang sarat akan diskriminasi di negerinya, sama sekali tidak
bertentangan dengan paham agama yang sudah terlanjur dipahami di negerinya
secara mayoritas.
Penulis: Muhammad Asyrofudin
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar