Rabu, 24 September 2025

PASUKAN POLISI BHAYANGKARA MOBILE BRIGADE/ MOBRIG, SEBAGAI INTISARI KEKUATAN DALAM SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 (SWK 102)

Berbagai Serangan yang dilakukan oleh pasukan Wehrkreise (WK) III maupun Sub-Wehrkreise tidak membuat Belanda menyerah.

Beberapa serangan bahkan telah banyak memakan korban TENTARA dan rakyat RI sendiri. bahkan dukungan RI di kancah dunia Internasional semakin lemah karena serangan balasan banyak dilakukan pada malam hari.

Belanda selalu melakukan propaganda di dunia Internasional khususnya di forum PBB bahwa serangan yang dilakukan tersebut hanyalah dari gerombolan gerombolan pengacau, jadi Keberadaan TENTARA dianggap hanya seperti “preman” atau “gerombolan pengacau”

Ada orang yang paling disegani Belanda di Yogyakarta, beliau adalah Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, Rakyat Yogyakarta selalu mematuhi semua perkataan dan perintah Sri Sultan HB IX mereka berprinsip “PEJAH GESANG NDEREK NGARSO DALEM”.

Belanda memberitakan ke seluruh dunia melalui PBB bahwa RI dan TENTARA telah hancur, Sri Sultan HB IX pada saat itu menangkap berita radio bahwa permulaan bulan Maret akan diadakan sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. Sidang DK PBB tersebut juga akan membahas permasalahan Indonesia dan Belanda.

Sri Sultan HB IX pada awal bulan Februari berkirim surat kepada Panglima BesarJenderal Sudirman untuk mengadakan serangan umum tetapi pada waktu siang hari, Jenderal Sudirman menyetujui usulan tersebut dan Sri Sultan HB IX diminta langsung untuk berkoordinasi dengan komandan WK III yaitu Letkol Soeharto, Sejak saat itu Sri Sultan HB IX selalu berhubungan dengan Letkol Soeharto melalui kurir mengingat Sri Sultan HB IX adalah seorang tahanan rumah, Saat itu Soeharto merupakan Komandan Brigade X dibawah Divisi III yang dipimpin oleh Kol. Bambang Sugeng.

Sri Sultan HB IX dan Letkol Soeharto bertemu pada tanggal 13 Februari 1949 saat malam hari, semua lampu dimatikan sehingga tidak dicurigai jika ada pertemuan penting. Pertemuan tersebut pada dasarnya membahas tentang pemberitaan Belanda kepada dunia Internasional bahwa RI dan TENTARA telah hancur dan harus dilakukan serangan balasan, Serangan tersebut harus bisa membuktikan kepada dunia Internasional bahwa RI dan TENTARA masih ada dan serangan tersebut harus dilakukan pada siang hari.

Beberapa bantuan pasukan TENTARA dari luar daerah Yogyakarta mulai didatangkan. Semua itu dilakukan agar Serangan Umum berhasil mengalahkan Belanda dan yang paling penting bisa diketahui dunia Internasional bahwa RI danTENTARA masih ada.

SWK 102 yang dipimpin oleh Mayor Sardjono mempunyai tugas menyerang Belanda dari sektor Selatan. Sasaran serangan tersebut adalah markas Belanda di Kantor Pos, Gedung Negara, benteng Vredeburg, pabrik Watson, Kotabaru, stasiun Lempuyangan, dan pabrik Aniem Wirobrajan.

Pasukan SWK102 terdiri dari :

1. Kompi Soedarsono dari Batalyon Sroehardojo

2. Peleton Polisi pimpinan Djohan Soeparno

3. Peleton Polisi pimpinan Moesiman

4. Peleton Polisi pimpinan Kohari

5. Peleton Tentara Pelajar (TP) Rahardjo dan Dua kelompok AURI masing

masing dipimpin oleh Basoeki dan Wirjo.

Kemudian oleh Mayor Sardjono, peleton Polisi MOBILE BRIGADE Moesiman, peleton Polisi MOBILE BRIGADE Kohari, dan Peleton Rahardjo diperbantukan kepada Kompi Widodo.

Penempatan dan pembagian tugas pasukan TENTARA sudah berjalan dengan baik dan lancar. Akan tetapi, di Bantul terjadi insiden diluar rencana yaitu insiden Komaruddin dan insiden Giwangan.

Pasukan SWK 102 sudah berada di lingkungan keraton sejak malam mulai menunggu adanya sirene pergantian jam malam pada pukul 06.00. Sirene yang ditetapkan sebagai tanda mulainya Serangan Umum 1 Maret 1949 mulai berbunyi.

Pasukan SWK 102 membuka tembakan pancingan yang ditujukan kepada kubu kubu pasir tempat kedudukan pasukan Belanda. Beberapa saat kemudian muncul beberapa tank dan brencarrier dari Benteng Vredeburg menuju Alun-alun Utara.

Kompi Widodo bergerak menuju sasarannya yaitu Pabrik Watson dan Lempuyangan melalui Mangkuyudan ke pasar Sentul kemudian ke arah Barat di Pakualaman. Kompi ini mendapat bantuan kekuatan 1 Kompi Polisi Mobile Brigade (MOBRIG) pimpinan Moesiman, 1 peleton Polisi Mobile Brigade (MOBRIG) pimpinan Kohari, dan 2 Peleton TP pimpinan Rahardjo.

Setelah satu regu Belanda yang berada di Lempuyangan berhasil ditaklukkan kemudian Kompi Widodo bergerak ke Pabrik Watson. Pabrik Watson ini dijaga oleh tentara KNIL kemudian menyerahkan Pabrik Watson tanpa perlawanan sedikitpun karena dalam kondisi yang terdesak, TENTARA berhasil mendapatkan amunisi sebanyak 5 ton sewaktu menyerang di Pabrik Watson.

Setelah berhasil menaklukan Pabrik Watson Kompi Widodo segera menuju ke Kotabaru untuk menyerang markas Belanda yang berada di sana. Kompi Widodo ini termasuk salah satu Kompi SWK 102 yang bertugas sebagai pasukan mobil (bergerak terus) Khas gerakan pasukan MOBILE BRIGADE.

Belanda yang dalam keadaan terjepit kemudian mengirimkan radio untuk meminta bantuan dari luar Yogyakarta. Kolonel Van Zanten selaku komandan Brigade Belanda yang berkedudukan di Magelang mengirimkan pasukan bantuan.

Pasukan Bantuan Belanda itu terdiri dari Batalyon Anjing NICA dan Gajah Merah yang diperkuat oleh 1 kompi panser dan 1 peleton tank.

sekitar pukul 13.00 pasukan TENTARA termasuk SWK 102 mulai bergerak meninggalkan Kota Yogyakarta, sesuai dengan rencana sebelumnya bahwa dunia Internasional dalam hal ini PBB perlu mengetahui bahwa RI dan TENTARA masih ada dan belum dihancurkan oleh Belanda.

Korban dari pihak RI akibat Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah TENTARA kehilangan 353 orang gugur, diantaranya 53 orang pasukan polisi. Korban dari kalangan rakyat tidak dapat dihitung dengan pasti. Korban di pihak Belanda tidak diketahui secara pasti.

Pada tanggal 7 Mei 1949 Soekarno dan Hatta memerintahkan gencatan senjata sekembalinya mereka ke Yogyakarta, bahwa Belanda akan segera menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Belanda tidak akan mendirikan negara-negara Federal baru. Pada tanggal 6 Juni 1949, pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh tentara Belanda pada awal bulan Juni 1949.

Kemudian pada tanggal 1 Agustus 1949, diumumkanlah gencatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus 1949.

KMB diselenggarakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Hatta dapat mendominasi wakil dari RI selama berlangsungnya perundingan tersebut. Suatu Uni yang tidak terlalu mengikat antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda disepakati dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis.

Sukarno akan menjadi Presiden RIS dan Hatta sebagai perdana menteri merangkap sebagai wakil presiden. Pada tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*KEPALA BNN RI GAUNGKAN JIHAD MELAWAN NARKOBA DALAM FORUM SILATURAHMI NASIONAL ULAMA*

Jakarta - Kepala BNN RI, Suyudi Ario Seto, menghadiri Silaturahmi Nasional Ulama, Kyai, Habaib, Pejabat Pemerintah, dan Tokoh Nasional se-...