Berbagai Serangan yang dilakukan
oleh pasukan Wehrkreise (WK) III maupun Sub-Wehrkreise tidak membuat Belanda
menyerah.
Beberapa serangan bahkan telah
banyak memakan korban TENTARA dan rakyat RI sendiri. bahkan dukungan RI di
kancah dunia Internasional semakin lemah karena serangan balasan banyak
dilakukan pada malam hari.
Belanda selalu melakukan
propaganda di dunia Internasional khususnya di forum PBB bahwa serangan yang
dilakukan tersebut hanyalah dari gerombolan gerombolan pengacau, jadi
Keberadaan TENTARA dianggap hanya seperti “preman” atau “gerombolan pengacau”
Ada orang yang paling disegani
Belanda di Yogyakarta, beliau adalah Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII,
Rakyat Yogyakarta selalu mematuhi semua perkataan dan perintah Sri Sultan HB IX
mereka berprinsip “PEJAH GESANG NDEREK NGARSO DALEM”.
Belanda memberitakan ke seluruh
dunia melalui PBB bahwa RI dan TENTARA telah hancur, Sri Sultan HB IX pada saat
itu menangkap berita radio bahwa permulaan bulan Maret akan diadakan sidang
Dewan Keamanan (DK) PBB. Sidang DK PBB tersebut juga akan membahas permasalahan
Indonesia dan Belanda.
Sri Sultan HB IX pada awal bulan
Februari berkirim surat kepada Panglima BesarJenderal Sudirman untuk mengadakan
serangan umum tetapi pada waktu siang hari, Jenderal Sudirman menyetujui usulan
tersebut dan Sri Sultan HB IX diminta langsung untuk berkoordinasi dengan
komandan WK III yaitu Letkol Soeharto, Sejak saat itu Sri Sultan HB IX selalu
berhubungan dengan Letkol Soeharto melalui kurir mengingat Sri Sultan HB IX
adalah seorang tahanan rumah, Saat itu Soeharto merupakan Komandan Brigade X
dibawah Divisi III yang dipimpin oleh Kol. Bambang Sugeng.
Sri Sultan HB IX dan Letkol
Soeharto bertemu pada tanggal 13 Februari 1949 saat malam hari, semua lampu
dimatikan sehingga tidak dicurigai jika ada pertemuan penting. Pertemuan
tersebut pada dasarnya membahas tentang pemberitaan Belanda kepada dunia
Internasional bahwa RI dan TENTARA telah hancur dan harus dilakukan serangan
balasan, Serangan tersebut harus bisa membuktikan kepada dunia Internasional
bahwa RI dan TENTARA masih ada dan serangan tersebut harus dilakukan pada siang
hari.
Beberapa bantuan pasukan TENTARA
dari luar daerah Yogyakarta mulai didatangkan. Semua itu dilakukan agar
Serangan Umum berhasil mengalahkan Belanda dan yang paling penting bisa
diketahui dunia Internasional bahwa RI danTENTARA masih ada.
SWK 102 yang dipimpin oleh Mayor
Sardjono mempunyai tugas menyerang Belanda dari sektor Selatan. Sasaran
serangan tersebut adalah markas Belanda di Kantor Pos, Gedung Negara, benteng
Vredeburg, pabrik Watson, Kotabaru, stasiun Lempuyangan, dan pabrik Aniem
Wirobrajan.
Pasukan SWK102 terdiri dari :
1. Kompi Soedarsono dari
Batalyon Sroehardojo
2. Peleton Polisi pimpinan
Djohan Soeparno
3. Peleton Polisi pimpinan
Moesiman
4. Peleton Polisi pimpinan
Kohari
5. Peleton Tentara Pelajar (TP)
Rahardjo dan Dua kelompok AURI masing
masing dipimpin oleh Basoeki dan
Wirjo.
Kemudian oleh Mayor Sardjono,
peleton Polisi MOBILE BRIGADE Moesiman, peleton Polisi MOBILE BRIGADE Kohari,
dan Peleton Rahardjo diperbantukan kepada Kompi Widodo.
Penempatan dan pembagian tugas
pasukan TENTARA sudah berjalan dengan baik dan lancar. Akan tetapi, di Bantul
terjadi insiden diluar rencana yaitu insiden Komaruddin dan insiden Giwangan.
Pasukan SWK 102 sudah berada di
lingkungan keraton sejak malam mulai menunggu adanya sirene pergantian jam
malam pada pukul 06.00. Sirene yang ditetapkan sebagai tanda mulainya Serangan
Umum 1 Maret 1949 mulai berbunyi.
Pasukan SWK 102 membuka tembakan
pancingan yang ditujukan kepada kubu kubu pasir tempat kedudukan pasukan
Belanda. Beberapa saat kemudian muncul beberapa tank dan brencarrier dari
Benteng Vredeburg menuju Alun-alun Utara.
Kompi Widodo bergerak menuju
sasarannya yaitu Pabrik Watson dan Lempuyangan melalui Mangkuyudan ke pasar
Sentul kemudian ke arah Barat di Pakualaman. Kompi ini mendapat bantuan
kekuatan 1 Kompi Polisi Mobile Brigade (MOBRIG) pimpinan Moesiman, 1 peleton Polisi
Mobile Brigade (MOBRIG) pimpinan Kohari, dan 2 Peleton TP pimpinan Rahardjo.
Setelah satu regu Belanda yang
berada di Lempuyangan berhasil ditaklukkan kemudian Kompi Widodo bergerak ke
Pabrik Watson. Pabrik Watson ini dijaga oleh tentara KNIL kemudian menyerahkan
Pabrik Watson tanpa perlawanan sedikitpun karena dalam kondisi yang terdesak,
TENTARA berhasil mendapatkan amunisi sebanyak 5 ton sewaktu menyerang di Pabrik
Watson.
Setelah berhasil menaklukan
Pabrik Watson Kompi Widodo segera menuju ke Kotabaru untuk menyerang markas
Belanda yang berada di sana. Kompi Widodo ini termasuk salah satu Kompi SWK 102
yang bertugas sebagai pasukan mobil (bergerak terus) Khas gerakan pasukan
MOBILE BRIGADE.
Belanda yang dalam keadaan
terjepit kemudian mengirimkan radio untuk meminta bantuan dari luar Yogyakarta.
Kolonel Van Zanten selaku komandan Brigade Belanda yang berkedudukan di
Magelang mengirimkan pasukan bantuan.
Pasukan Bantuan Belanda itu
terdiri dari Batalyon Anjing NICA dan Gajah Merah yang diperkuat oleh 1 kompi
panser dan 1 peleton tank.
sekitar pukul 13.00 pasukan
TENTARA termasuk SWK 102 mulai bergerak meninggalkan Kota Yogyakarta, sesuai
dengan rencana sebelumnya bahwa dunia Internasional dalam hal ini PBB perlu
mengetahui bahwa RI dan TENTARA masih ada dan belum dihancurkan oleh Belanda.
Korban dari pihak RI akibat
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah TENTARA kehilangan 353 orang gugur,
diantaranya 53 orang pasukan polisi. Korban dari kalangan rakyat tidak dapat
dihitung dengan pasti. Korban di pihak Belanda tidak diketahui secara pasti.
Pada tanggal 7 Mei 1949 Soekarno
dan Hatta memerintahkan gencatan senjata sekembalinya mereka ke Yogyakarta,
bahwa Belanda akan segera menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Belanda
tidak akan mendirikan negara-negara Federal baru. Pada tanggal 6 Juni 1949,
pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh tentara
Belanda pada awal bulan Juni 1949.
Kemudian pada tanggal 1 Agustus
1949, diumumkanlah gencatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada
tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus 1949.
KMB diselenggarakan di Den Haag
pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Hatta dapat mendominasi wakil
dari RI selama berlangsungnya perundingan tersebut. Suatu Uni yang tidak terlalu
mengikat antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda disepakati dengan
Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis.
Sukarno akan menjadi Presiden
RIS dan Hatta sebagai perdana menteri merangkap sebagai wakil presiden. Pada
tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan
RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar