Minggu, 02 Februari 2025

Hukum Progresif: Hukum yang Pro Rakyat

Satjipto Rahardjo menyatakan penegakan hukum progresif dijalankan tidak hanya berpatokan pada kata-kata hitam putih dari peraturan-peraturan yang berlaku, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari peraturan-peraturan tersebut.

Kenapa hukum progresif disebut hukum yang pro rakyat? Atau hukum yang pro keadilan? Maksudnya bagaimana? Yuk simak dulu artikel kali ini!

Produk hukum atau berbagai peraturan tentunya bersifat formalistik dimana kepastian hukum menjadi ikon kebenaran. Keadilan yang dimaksud bersumber dari peraturan tertulis dan menutup diri terhadap keadilan di luar peraturan tertulis. Teori ini memunculkan pemikiran hukum progresif untuk memberikan kepuasan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum.

Hukum progresif disebut sebagai hukum yang pro rakyat sebab hukum progresif dituntut untuk mengedepankan kejujuran, empati, kepedulian dan ketulusan dalam menegakkan hukum. Masyarakat membutuhkan pembentukan dan konstruksi hukum yang dapat memberikan rasa nyaman sehingga membuka akses nilai keadilan.

Pembentukan hukum terikat erat dengan putusan hakim dalam suatu perkara, sedangkan penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan dan ide-ide hukum menjadi kenyataan. 

Penegakan hukum dengan hanya berpatokan pada peraturan tidak selalu dapat mewujudkan nilai keadilan, maka perlu ada penerapan hukum progresif sebagai hukum yang pro rakyat dan berorientasi terhadap nilai keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan hak asasi.

Konsepsi Hukum Progresif: Hukum Bukan Institusi yang Final dan Mutlak

Hukum progresif percaya bahwa hukum bukan merupakan institusi yang final dan mutlak, karena hakikat hukum sendiri selalu dalam proses menjadi. Satjipto Rahardjo menyatakan hukum senantiasa berproses:

“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia”

Maka dalam konteks tersebut, dapat dilihat hukum harus berjalan berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia. Jika hukum bersifat final dan mutlak, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi dalam menyelesaikan perkara, akan tetapi manusialah yang dipaksa untuk mengikuti keberadaan hukum itu.

Konsepsi Hukum Progresif: Hukum untuk Keadilan

Keadilan dan kebenaran menempatkan nilai kemanusiaan paling tinggi dalam kehidupan hukum. Keadilan dan kebenaran menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. 

Sobat HeyLaw pasti sering mendengar kalimat “Hukum untuk manusia”, artinya sama dengan hukum progresif yang berasumsi bahwa “Hukum untuk keadilan”, dimana nilai kemanusian dan keadilan ada di atas hukum bukan sebaliknya. Itulah sebabnya jika terdapat permasalahan dalam menegakkan hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau kembali, bukan manusia dipaksa mengikuti hukum tersebut.

Hukum hanya dipandang sebagai “alat” untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Sehingga menurut hukum progresif, hukum bukanlah sebuah tujuan melainkan hukum hanya berupa alat.

Konsepsi Hukum Progresif: Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku

Hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku. Hukum sebagai peraturan dibentuk untuk membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku manusia sebagai subjek yang menjalankan dan menggerakkan peraturan yang ada. Maka dari itu, kinerja hukum yang pro rakyat atau tercermin dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.

Hukum progresif menempatkan aspek perilaku di atas aspek peraturan. Satjipto Rahardjo mengutip ucapan Taverne :

“Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”.

Dengan menempatkan perilaku manusia di atas peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari yang semulanya hanya melihat peraturan perundang-undang saja, berubah ke arah yang memperhatikan nilai kemanusiaan (holistik).

Konsepsi Hukum Progresif: Hukum Mengandung Spirit Pembebasan

Hukum progresif yang lahir dari rasa ketidakpuasan dan keprihatinan atas kualitas penegakan hukum, hal ini menyebabkan hukum progresif mengandung spirit pembebasan. Pembebasan yang bagaimana yah?

1.  Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang selama ini berpatokan terhadap peraturan yang ada. Disini hukum progresif lebih mengutamakan tujuan yang ingin dicapai.

2.  Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.

Jangan salah tanggap dulu Sobat HeyLaw! Arti kata “pembebasan” bukanlah menjurus kepada tindakan negatif atau kesewenang-wenangan, sebab penegak hukum dalam melakukan apapun harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “peraturan perundang-undangan” saja.

Dari konsepsi hukum inilah, hukum progresif menjunjung tinggi nilai moralitas dengan menggunakan hati nurani untuk mengendalikan “spirit pembebasan”. Dengan begitu, hukum progresif yang menyatakan bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” mengandung spirit pembebasan untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat dalam penegakan hukum.

Selain konsepsi-konsepsi di atas, ciri hukum progresif lainnya, yaitu:

1.  Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia sehingga dinamika hukum tidak kunjung berhenti pada waktu tertentu, hukum harus terus menerus membangun diri menyesuaikan perubahan sosial yang terjadi.

2.  Peka terhadap perubahan secara lokal, nasional maupun internasional terhadap segala peristiwa hukum.

3.  Tidak mengindahkan status quo (kondisi tetap tanpa adanya perubahan), terutama saat suatu peristiwa merugikan rakyat. 

Berfikir secara progresif, menekankan bahwa bukan saja proses kehidupan ini yang harus keluar dari zona nyaman, melainkan juga dalam penegakan hukum. Hukum harus memperhatikan sisi sosiologis dan nilai kemanusiaan. 

Pola pikir dengan memperhatikan maksud undang-undang memang perlu, namun perlu juga memperhatikan hukum progresif manakala suatu perkara berhadapan dengan suatu masalah yang jika dipikirkan dengan logika hukum dapat mencederai nilai kemanusiaan.

Sumber :

Penulis:
Gracia

Editor:
Zulfa ‘Azzah Fadhlika, S.H

@Heylaw

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HILMI FIRDAUSI: JANGAN BIARKAN RAMADAN LEWAT TANPA PERUBAHAN DIRI

Jakarta - Bulan Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan dan menjadi sarana bagi setiap umat Muslim untuk memperbaiki diri. Bulan suci, di...