Senin, 22 Mei 2023

Museum Maluku di Belanda Hampir Bangkrut


Editor ; Egidius Patnistik

Pengurus Museum Maluku atau MuMa di kota Utrecht, Belanda tengah, mengumumkan, mereka mungkin harus menutup museum tahun 2013, karena tidak punya cukup dana. Tiap tahunnya dibutuhkan paling sedikit 400 ribu euro, dan itu tidak bisa diperoleh dari hasil penjualan tiket masuk saja. Ketua dewan pengurus, Dita Vermeulen, menjelaskan kepada Radio Nederland Wereldomroep.

Tahun 1995 masyarakat Maluku di Belanda mendapat dana dari pemerintah sebesar 3,6 juta euro untuk mendirikan Museum Maluku. Dengan dana itu mereka antara lain membeli gedung yang saat ini masih ditempati, mengumpulkan koleksi dan kalau dibutuhkan membeli barang-barang bersejarah yang dipamerkan di museum lain. Muma terutama mengisahkan sejarah orang Maluku di Belanda, yang jarang disorot pihak lain. Selain suntikan dana tahun 1995, Museum Maluku tidak pernah menerima dana lain dari pemerintah Belanda. Selama 16 tahun, dari hasil penjualan tiket masuk, sponsor dan lain-lain, museum masih bisa bertahan. Tapi penghasilan mereka sangat berkurang. "Kami tidak berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang sama, sehingga kami hanya bisa buka beberapa tahun ke depan. Kami sudah hampir kehabisan dana." Museum Maluku sengaja didirikan terpisah dari museum Belanda lainnya. "Apabila kami menjadi bagian dari Rijksmuseum (museum nasional) di Amsterdam, ribuan orang dari seluruh penjuru dunia akan datang. Tapi koleksi Maluku hanya ada di satu ruangan kecil saja."

Sedangkan sekarang semua orang yang tertarik akan sejarah Maluku harus datang khusus ke kota Utrecht. Kurang Pengunjung Museum Maluku tergolong museum kecil. Pengunjung yang datang ke museum ini juga tidak banyak. "Hanya orang-orang khusus saja. Orang-orang Maluku yang tinggal di Belanda atau dari negara lain di dunia, juga dari Indonesia. Para ilmuwan yang ingin tahu tentang Maluku dan orang-orang non-Maluku yang sangat tertarik akan sejarah orang Maluku." Dita Vermeulen sadar jumlah itu tidak banyak. Karena itu mereka tidak bisa bergantung dari hasil penjualan karcis masuk.

Pihak museum telah memeras otak untuk menarik lebih banyak pengunjung. Mereka tidak mau menaikkan harga tiket masuk. Usaha mereka, misalnya, dengan membuka restoran khusus berhidangan khas Maluku dan Indonesia. Ini bisa menarik pengunjung lebih banyak. Tapi ide itu tidak bisa direalisasi karena gedung museum mereka adalah bagian dari monumen kota Utrecht yang dilindungi. "Kami tidak boleh memperluas bangunan. Tidak boleh mengubah arsitektur taman, tidak boleh menebang pohon begitu saja. Karena itu kami hanya bisa 'bermain' dengan ruangan yang ada," jelas Dita Vermeulen. Museum juga punya satu bangsal kecil, yang disewakan untuk berbagai kegiatan, tapi uang yang masuk tidak banyak. 

Dari 1990 hingga 1995 masyarakat Maluku di Belanda tiap tahunnya menerima subsidi dari Den Haag, termasuk untuk museum. Tahun 1995 subsidi dihentikan dan sejak saat itu mereka tidak pernah lagi dimasukkan ke dalam daftar penerima subsidi. Untuk meminta lagi sangat sulit. Selain itu pemerintah Belanda saat ini berencana mengurangi anggaran di bidang kebudayaan, dan tidak mengutamakan kepentingan kaum minoritas.

Museum Maluku memang pernah menerima subsidi dari sejumlah departemen, tapi itu hanya sumbangan satu kali saja. Pemerintah kota Utrecht tidak pernah menawarkan subsidi kepada Museum Maluku, karena MuMa tidak mengkhususkan diri tentang Utrecht atau penduduk Utrecht. Belakangan ini mereka mendapat sumbangan dari pemkot karena masuk bagian proyek pendidikan anak-anak sekolah. Banyak anak sekolah Utrecht yang datang untuk mempelajari sejarah orang Maluku di Belanda. 

Satu hal penting yang harus dilakukan pengurus: mempopulerkan Museum Maluku di kalangan penduduk Belanda. Tapi untuk itu mereka harus menawarkan sesuatu yang istimewa. "Secangkir kopi dengan pastel atau makanan khas lainnya. Atau nasi rames yang enak. Itu bisa menarik pengunjung untuk datang ke museum." Dita Vermeulen mengakui, mereka juga tidak pernah mempromosikan museum kepada bangsa Asia lainnya. Di Belanda banyak tinggal warga keturunan Indonesia, tapi kebanyakan tidak berminat datang mengunjungi museum. "Itu karena latar belakang sejarah. Seharusnya kami juga mempopulerkan Maluku kepada semua orang, termasuk orang Indonesia." Ingat saja pepatah "Tak kenal maka tak sayang". 

Masa depan Untuk dapat bertahan, pengurus Museum Maluku harus menghitung berapa banyak dana yang dibutuhkan agar bisa menjalankan tugas utama mereka. Mereka juga memikirkan kemungkinan bekerja sama dengan museum lain. Atau mendekati sejumlah perusahaan besar yang mungkin berminat. Tetapi yang pertama dan terpenting adalah meminta petunjuk dan bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda. Menurut Dita Vermeulen, rata-rata orang Maluku di Belanda punya penghasilan tidak besar. Selain itu orang Maluku juga banyak mengirim uang untuk keluarga di Maluku atau membantu lingkungan tempat mereka tinggal. Jadi MuMa tidak bisa berharap banyak. "Kami tidak bisa meminta sumbangan dalam jumlah besar. Tapi tiap euro yang masuk, kami sambut dengan tangan terbuka."



* Disadur oleh : Melianus Tuakora
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BNN Tingkatkan Efisiensi Kerja Dengan SRIKANDI V3

Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Biro Umum terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dan tata kelola pemerintahan yang ba...