Pengurus Museum Maluku atau MuMa di kota Utrecht, Belanda tengah,
mengumumkan, mereka mungkin harus menutup museum tahun 2013, karena tidak punya
cukup dana. Tiap tahunnya dibutuhkan paling sedikit 400 ribu euro, dan itu
tidak bisa diperoleh dari hasil penjualan tiket masuk saja. Ketua dewan
pengurus, Dita Vermeulen, menjelaskan kepada Radio Nederland Wereldomroep.
Tahun 1995 masyarakat Maluku di Belanda mendapat dana dari pemerintah
sebesar 3,6 juta euro untuk mendirikan Museum Maluku. Dengan dana itu mereka
antara lain membeli gedung yang saat ini masih ditempati, mengumpulkan koleksi
dan kalau dibutuhkan membeli barang-barang bersejarah yang dipamerkan di museum
lain. Muma terutama mengisahkan sejarah orang Maluku di Belanda, yang jarang
disorot pihak lain. Selain suntikan dana tahun 1995, Museum Maluku tidak pernah
menerima dana lain dari pemerintah Belanda. Selama 16 tahun, dari hasil
penjualan tiket masuk, sponsor dan lain-lain, museum masih bisa bertahan. Tapi
penghasilan mereka sangat berkurang. "Kami tidak berhasil mengumpulkan
uang dalam jumlah yang sama, sehingga kami hanya bisa buka beberapa tahun ke
depan. Kami sudah hampir kehabisan dana." Museum Maluku sengaja didirikan
terpisah dari museum Belanda lainnya. "Apabila kami menjadi bagian dari
Rijksmuseum (museum nasional) di Amsterdam, ribuan orang dari seluruh penjuru
dunia akan datang. Tapi koleksi Maluku hanya ada di satu ruangan kecil
saja."
Sedangkan sekarang semua orang yang tertarik akan sejarah Maluku harus
datang khusus ke kota Utrecht. Kurang Pengunjung Museum Maluku tergolong museum
kecil. Pengunjung yang datang ke museum ini juga tidak banyak. "Hanya
orang-orang khusus saja. Orang-orang Maluku yang tinggal di Belanda atau dari
negara lain di dunia, juga dari Indonesia. Para ilmuwan yang ingin tahu tentang
Maluku dan orang-orang non-Maluku yang sangat tertarik akan sejarah orang
Maluku." Dita Vermeulen sadar jumlah itu tidak banyak. Karena itu mereka
tidak bisa bergantung dari hasil penjualan karcis masuk.
Pihak museum telah memeras otak untuk menarik lebih banyak pengunjung. Mereka tidak mau menaikkan harga tiket masuk. Usaha mereka, misalnya, dengan membuka restoran khusus berhidangan khas Maluku dan Indonesia. Ini bisa menarik pengunjung lebih banyak. Tapi ide itu tidak bisa direalisasi karena gedung museum mereka adalah bagian dari monumen kota Utrecht yang dilindungi. "Kami tidak boleh memperluas bangunan. Tidak boleh mengubah arsitektur taman, tidak boleh menebang pohon begitu saja. Karena itu kami hanya bisa 'bermain' dengan ruangan yang ada," jelas Dita Vermeulen. Museum juga punya satu bangsal kecil, yang disewakan untuk berbagai kegiatan, tapi uang yang masuk tidak banyak.
Dari 1990 hingga 1995 masyarakat Maluku di Belanda
tiap tahunnya menerima subsidi dari Den Haag, termasuk untuk museum. Tahun 1995
subsidi dihentikan dan sejak saat itu mereka tidak pernah lagi dimasukkan ke
dalam daftar penerima subsidi. Untuk meminta lagi sangat sulit. Selain itu
pemerintah Belanda saat ini berencana mengurangi anggaran di bidang kebudayaan,
dan tidak mengutamakan kepentingan kaum minoritas.
* Disadur oleh : Melianus Tuakora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar