Senin, 22 Mei 2023

Menapaki Jejak Kelompok Freemason di Padang: Sebuah Loji yang Terlupakan


Loji Matahari di Padang
 Oleh : Daffa Benny Jurnalis Haluan padang

Gedung yang dulunya dipakai oleh penjajah untuk berbagai kepentingan tersebut kini disulap menjadi pusat keagamaan dan pendidikan. Kini bangunan tua tersebut sebagian besar dikelola dalam naungan otoritas Katolik Padang, antara lain SMA Don Bosco, SMP Frater, SMP Maria, Panti Asuhan St. Leo, gedung Bergamin Paroki Katedral Padang, kantor Keuskupan Padang, hingga Katedral St. Theresia.

Namun di balik kemegahan dan bau yang syarat sejarah perjuangan Kota Padang tersebut, siapa yang sangka ternyata satu dari banyak gedung itu pernah dijadikan sebagai markas kelompok yang ditentang oleh rohaniwan Katolik pada masa itu yakni Freemasonry.

Menurut catatan sejarah, Freemasonry atau Tarekat Mason Bebas sempat memiliki sebuah loji di Jalan Belakang Tangsi pada 1876 hingga 1931. Merujuk pada buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 karya Dr. Th. Stevens (1994) sejarah keberadaan Freemason di Padang tertulis. Namun tidak diketahui secara pasti di titik mana gedung itu pernah berdiri.

Dulu, kelompok Freemasonry pernah beradu hegemoni dengan lembaga Katolik Roma di Padang dalam bidang pendidikan. Freemasonry dengan sekularisme-nya, sementara Katolik dengan pendidikan berbasis keagamaan.

Apa Itu Freemason?

Secara bahasa, stilah ‘Freemason’ terinspirasi dari kata ‘mason’ yang berarti ‘tukang batu’. Anggota Freemasonry melambangkan diri mereka sebagai tukang batu yang tengah membangun ‘kuil’. Kuil yang dimaksud adalah humanisme, kemanusiaan. Anggota Freemasonry mulai berkumpul secara formal pada 1717, ketia muncul loji pertama Freemason, United Grand Lodge of England.

Gerakan ini mengklaim bekerja demi “kemuliaan Juru Bangun Tertinggi Alam Semesta”. Menurut catatan Th. Stevens, Freemasonry atau ‘Tarekat Mason Bebas’ menerima asas dasar pengakuan nilai tinggi kepribadian manusia, hak manusia untuk mencari kebenaran, tanggung jawab moral manusia atas perilakunya, serta tugas untuk mengabdi bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebagai gerakan yang menjunjung tinggi humanisme, Freemason tidak berlandaskan pada ajaran agama apa pun, namun membuka pintu bagi orang-orang dari berbagai agama dan latar belakang untuk bergabung. Kegiatan Freemasonry mencakup ritual-ritual upacara menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai “pemujaan yang hendak dibangun kaum Mason Bebas bagi dirinya sendiri dan bagi umat manusia.” Simbol yang digunakan Freemason antara lain segitiga, mata, mistar, dan jangka.

Masuknya Freemason ke Indonesia

Kemunculan awal Freemason di Indonesia ditandai dengan keberadaan loji La Choisie (‘yang terpilih’) di Batavia (Jakarta, red.) pada 1764 hingga 1766. Keberadaan singkat loji tersebut dipengaruhi oleh keberadaan anggota Freemason asal Eropa yang sudah mulai menetap di Batavia.

Tidak berselang lama, kegiatan Freemason di Batavia mulai bangkit lagi dengan keberadaan loji La Fidele Sincerite (‘kesetiaan yang tulus’) pada 1767 dan La Vertueuse (‘kebajikan’) pada 1769.

Keberadaan Freemasonry kemudian perlahan diterima oleh pemerintah-meskipun menimbulkan gesekan dengan pihak gereja. Loji-loji Freemason kemudian muncul di Semarang (1801), Surabaya (1809), hingga Padang (1858).

Loji Mata Hari di Padang, Loji Freemasonry Ke-7 di Indonesia

Loji “Mata Hari” di Padang didirikan pada 1858. Itu merupakan loji ke-7 yang didirikan di Hindia Belanda dan yang pertama di luar Pulau Jawa. Setelah enam loji sebelumnya dinamai dengan bahasa Perancis dan Belanda, loji di kota yang jadi pusat perdagangan Indonesia bagian Barat dulunya ini muncul dengan nama berbahasa Melayu/Indonesia.

Kepala Seksi Cagar Budaya dan Musem Dinas Pendidikan Kota Padang, Marshalleh Adaz menjelaskan, pada abad ke 19, Padang berkembang menjadi salah satu pusat ekonomi dan pemerintahan kolonial. Aktifitas itu didukung oleh posisi strategisnya di pesisir barat Sumatera yang ramai dengan perdagangan.

"Banyak di antara rempah-rempah yang akan dijual ke Eropa disimpan di gudang-gudang di Padang. Pentingnya Padang bagi pemerintah kolonial membuat kota ini diramaikan oleh pegawai Belanda,” katanya.

Berdasarkan pernyataan tersebut, tidak heran apabila anggota Loji Mata Hari kebanyakan merupakan pegawai pemerintah atau tentara.

T.H. Stevens (1994) mencatat bahwa cikal bakal Loji Mata Hari sudah ada sejak 11 Desember 1857, ketika delapan orang anggota Freemason berkumpul di rumah seorang Belanda bernama Jacob van Vollenhoven di Padang, untuk membahas pendirian loji.

Menurut dia, pertemuan kedelapan orang tersebut berlangsung tertutup sebab masyarakat Kota Padang saat itu terbuka dengan keberadaan orang asing dan demi meminimalisir konflik horizontal. “terutama mengingat ketenangan penduduk pribumi,” tulis Stevens singkat.

Setahun lebih setelah pertemuan awal itu tepatnya pada 14 Mei 1859 loji Mata Hari di Padang diresmikan dengan jumlah anggota sebanyak 14 orang. Upacara peresmian loji tersebut menetapkan A. J. Wichers sebagai Pejabat Wakil Suhu Agung Nasional Tarekat Kaum Mason Bebas untuk Bagian Timur dan Barat Hindia Belanda.

Pada periode awal kegiatan loji “Mata Hari”, anggota sering mengadakan pesta dan jamuan besar. T.H. Stevens menggambarkan bahwa pesta-pesta tersebut sangat meriah dan ditandai oleh persaudaraan yang sejati.

"Dalam pesta peresmian loji di tanggal 14 Mei 1859, para hadirin bahkan menghabiskan hingga 72 botol anggur. Pesta itu turut dimeriahkan dengan korps musik batalion Padang dan tata cahaya yang megah," jelas Stevens.

Sementara untuk markas mereka, Freemason Padang kala itu menyewa bangunan dan memilih untuk berpindah-pindah markas pada tahun awal pendirian. Barulah pada tahun 1866, organisasi membeli sebuah gedung di Jalan Belakang Tangsi yang kemudian resmi menjadi gedung Loji Mata Hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BNN Tingkatkan Efisiensi Kerja Dengan SRIKANDI V3

Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Biro Umum terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dan tata kelola pemerintahan yang ba...