Masyarakat Indonesia
bersuka cita menuju Idul Fitri 2022. Tak hanya karena menyambut hari kemenangan
umat Islam, di Lebaran tahun ini, mudik kembali diperbolehkan. Ini akan menjadi
tahun pertama dibolehkannya mudik di tengah pandemi virus corona. Sebelumnya,
pada Lebaran 2020 dan 2021, pemerintah melarang mudik. Presiden Joko Widodo
mengatakan, jumlah pemudik di Lebaran tahun ini diperkirakan mencapai 85 juta
orang. Dari angka tersebut, 14 juta pemudik diperkirakan berasal dari
Jabodetabek. Sementara, jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi
diprediksi mencapai 47 persen dari angka total.
mudik sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji
Sampurno mengatakan, kebiasaan mudik dimulai sejak zaman Majapahit dan Mataram
Islam. "Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan
sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio. Alkisah, dahulu
wilayah kekuasaan Majapahit begitu luas hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung
Malaya. Kerajaan Majapahit pun menempatkan para pejabatnya di titik-titik kekuasaan
mereka. Sampai pada suatu ketika, pejabat tersebut akan kembali ke pusat
kerajaan untuk menghadapi raja dan mengunjungi kampung halaman. Kebiasaan ini
lantas dikaitkan dengan lahirnya fenomena mudik. "Selain berawal dari
Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di
daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri,"
kata Silverio.
Sementara, menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY) Yuanda Zara, tradisi mudik ada sejak masa awal
kemerdekaan Indonesia. Kala itu, banyak masyarakat yang berbondong-bondong
merantau ke Jakarta lantaran fokus pembangunan ada di ibu kota negara. Setelah
beberapa tahun tinggal, para pendatang itu rindu pada kampung halaman mereka.
Berangkat dari situ, muncul fenomena pulang ke kampung halaman secara massal
dari para pekerja di Jakarta. Melihat ini, pemerintah pun memberikan perhatian
serius. Tahun 1960-an jalur-jalur kereta api dari masa kolonial kembali
dihidupkan di seluruh wilayah untuk memudahkan warga pulang ke kampung halaman.
Dalam perkembangannya, mudik juga dilakukan dengan moda transportasi bus,
kapal, pesawat, bahkan mulai tahun 1980-an orang banyak mudik menggunakan
kendaraan pribadi. "Sampailah ke era sekarang yang kita lihat tadi itu
telah berlangsung sekitar 70 tahun dalam skala yang besar, kalau sebelumnya
hanya skala personal," kata Yuanda dilansir dari pemberitaan Historia.id,
9 Mei 2021. Istilah "mudik" Meski sudah menjadi tradisi sejak lama,
istilah "mudik" baru populer di tahun 1970-an. Menurut Silverio,
sejak saat itu mudik dikenal sebagai tradisi yang dilakukan oleh perantau untuk
kembali ke kampung halamannya dan berkumpul bersama keluarga, khususnya ketika
Lebaran.
Mudik banyak dilakukan oleh perantau di Jakarta
yang mayoritas berasal dari Jawa. Sementara, bagi masyarakat Jawa sendiri,
"mudik" diartikan sebagai mulih dhisik atau pulang
dulu. "Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata mulih dhisik yang
bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah
mereka menggelandang (merantau)," kata Silverio. Di sisi lain, masyarakat
Betawi mengartikan mudik sebagai "kembali ke udik". Dalam bahasa
Betawi, "udik" berarti kampung.
Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman,
orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik". Akhirnya,
istilah ini mengalami penyederhanaan dari "udik" menjadi
"mudik". Sementara, menurut Yuanda Zara, istilah mudik mulai banyak
digunakan di tahun 1980-an. Sebelum itu, masyarakat umumnya menggunakan istlah
"pulang kampung", "bersilaturahmi dengan keluarga besar",
"halal bi halal dengan keluarga di daerah", dan sebagainya.
//Sumber kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar