Jaksa Agung RI Burhanuddin menegaskan bahwa
penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk
mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri
untuk mencapai keadilan yang hakiki. Jaksa Agung ingin kehadiran jaksa di
tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga
kemanfaatan hukum.
“Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga
apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat,
maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ujar Jaksa Agung
Burhanuddin di dampingi Jaksa Agung Muda Pidana Umum Fadil Zumhana Kepala
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep Mulyana dan Kapuspenkum Kejagung Leoanrd
Simanjuntak saat kunjungan kerja Jaksa Agung di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
pada tanggal 25 Januari 2022.
Jaksa Agung menyampaikan, salah satu contoh
penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di dalam
masyarakat adalah kasus KDRT di Kejaksaan Negeri Karawang, dimana tuntutan
jaksa tersebut nampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan
sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Oleh karenanya saya minta kepada Kajati dan Kajari
untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Salah satu tolok ukur
terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan
diterima dan dirasa manfaatnya oleh masyarakat,” tegas Jaksa Agung.
Selanjutnya
mengenai penerapan keadilan restoratif, Jaksa Agung menyampaikan bahwa sejak
diterbitkan sampai dengan tanggal 21 Januari 2022 tercatat sebanyak 13 perkara berhasil diselesaikan dengan RJ di lingkungan Kejati Jawa Barat, dan
disambut baik oleh masyarakat.
“ Namun saya ingatkan agar saudara juga perlu
mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tidak semua perkara dapat
diselesaikan dengan mekanisme RJ, dan penegakan hukum harus berjalan objektif
dan profesional meskipun mendapat tekanan,” kata Burhanuddin mengingatkan.
“Apabila terdapat perkara yang menarik perhatian
masyarakat dan berpotensi menimbulkan kegaduhan, segera ambil langkah taktis
secara cepat dengan mengedukasi dan menjelaskan duduk perkara melalui media
massa, sehingga masyarakat mengerti dan mendukung langkah Kejaksaan menuntaskan
perkara tersebut di pengadilan,” jelasnya.
Menurutnya kebijakan RJ sebagai salah satu
alternatif penyelesaian hukum menuai respon masyarakat yang sangat positif.
Oleh karena itu dengan pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat. Jaksa Agung
menilai bahwa ruang lingkup dan cakupan RJ dirasa perlu diperluas, sehingga
kemanfaatan penegakan hukum yang berhati nurani dapat dirasakan oleh masyarakat
dalam lingkup yang lebih luas lagi, dan telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum untuk membentuk Kampung Restoratif Justice.
Disamping
itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana
menyampaikan bahwa Jaksa Agung memberikan perintah untuk mengedepankan keadilan
restoratif (restorative justice). Restorative justice ini adalah
kemampuan Jaksa mengasah kearifan lokal, dimana setiap daerah memiliki kearifan
lokal dan harus diasah dalam mewujudkan keadilan, ujar Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum.
“Jaksa harus bisa mengasah kearifan lokal dalam hal
memberikan keadilan restoratif pada suatu perkara itu atau belum jadi perkara.
Lalu peran Jaksa dalam kampung restorative justice haruslah proaktif dalam
menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dialami rakyat kita. Selesaikan
melalui kearifan,” ujar Jampidum.
JAM Pidum juga mengatakan bahwa atas seijin Bapak
Jaksa Agung bahwa Kejaksaan harus menumbuhkan kearifan lokal dalam hal
penyelesaian pidana dengan membangun Kampung Restoratif Justice.
“Maka,
dengan adanya kampung restorative justice, diharapkan 1/3 masalah dapat
Kejaksaan selesaikan dengan mengasah kearifan lokal. Selain itu pula, institusi
Kejaksaan RI dapat berkontribusi untuk memberikan keadilan yang terasa, cepat,
tanpa biaya, dan sederhana kepada masyarakat serta juga kontribusi kepada
Pemerintah dalam mengatasi over
crowded dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara
(Rutan), karena akan berpengaruh banyak seperti biaya yang dikeluarkan negara
dan tenaga penjaga (sipir) di Lembaga Pemasyarakatan maupun di Rutan.
Selain itu, Jaksa Agung juga telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021
tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan
Asas Dominus Litis Jaksa.
Tujuan dari pedoman tersebut adalah agar terciptanya
pemulihan, baik itu pemulihan keadilan, pemulihan mental, dan pemulihan
kesehatan penyalahguna, sehingga diharapkan mampu menghadirkan kemanfaatan
hukum. ( Persatuan Jaksa Indonesia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar