Mereka seolah berbagi peran. Setiap kali Densus 88 melakukan
penangkapan, yang satu selalu mengangkat soal Islamofobia yang lain
mempertanyakan keterlibatan Densus 88 dalam penanganan KKB Papua. Apa maksudnya
? Ingin membangun stigma bahwa Densus 88 hanya memerangi umat islam, tapi lepas
tangan untuk non-islam. Apa tujuannya ? Agitasi politik! Pragmatisme politik !
Politik identitas ! Menipu electoral !.
Kesimpulan secara umum adalah , mereka ingin memecah belah
kutuhan bangsa dengan menunggangi agama. Seolah mereka berjuang untuk agama.
Khawarij selalu menipu ! Ironisnya, yang satu adalah politisi dari partai yang
berkoalisi dengan pemerintah, Bagian lain adalah para “Pansos politik “ dan
pengurus ormas yang berlindung dari semat ulama. “ Echo – chamber “ yang lain adalah ampas
pilpres yang gemar sembahyang di parkiran Monas ketimbang di Mesjid Istiqlal.
Dari frasa diatas saya berkesan panas. Tapi kita memang tidak
boleh “membekukan diri” untuk melawan narasi yang sangat berbahaya bagi
integritas bangsa kita ini. Terlebih
yang dilakukan oleh para “pemburu rente” yang gemar menggunakan isu agama
sebagai tekhnik mengemis suara elektoralnya. Kaum munafik yang masih menelan
uang negara, mencicipi fasilitas pemerintah, tapi tiada hentinya menghasut
bangsa. Nigegas ? Iya! Saya tidak akan pernah kompromi untuk melawan politisasi
agama.
Islamofobia itu sendiri adalah industri politik. Menurut
Khaled Beydoun, isu ini dipakai politisi darimanapun. Di negara non-muslim, isu
ini dipakai para politisi untuk menjelekkan islam sebagai alat daya pikat
politik. Tapi di negara berpenduduk mayoritas muslim, isu ini dipakai politisi
untuk membangun “ branding “ bahwa ia pejuang isla. Padahal semua sama,
menghasut rakyat untuk mengais laba!.
Pola ini bukan baru. Sudah ratusan tahun terjadi. Bahkan
Abdurrahman bin Muljam yang dieksekusi dengan dipotong lidahnya karena
menghasut rakyat Iraq dan membunuh Sayyidina Ali tak membuat jera
manusia-manusia sesudahnya. Lidah orang – orang seperti ini sama berbahaynya-
dipotong atau tidak – karena kebusukan bukan pada lidahnya tapi di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar