Jepara ternyata
tidak hanya memiliki figur R.A. Kartini saja. Jauh sebelumnya, ada perempuan
tangguh lain yang juga lekat dengan salah satu kota pesisir pantai utara Jawa
itu. Ia adalah Ratu Kalinyamat, putri Kerajaan Demak pemimpin Jepara yang
berkali-kali turut berupaya mengenyahkan Portugis dari Nusantara.
Ratu Kalinyamat adalah anak perempuan Sultan Trenggono. Putra
Raden Patah ini merupakan penguasa Kesultanan Demak ketiga yang menduduki
takhta kerajaan Islam pertama di tanah Jawa itu dalam dua periode yang berbeda,
yakni pada 1505-1518 dan 1521-1546 (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:69).
Selama memimpin Jepara, yang kala itu merupakan
bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Demak, setidaknya dua kali Ratu
Kalinyamat mengirimkan pasukan dan armada tempur dalam jumlah besar ke Malaka
demi mengusir Portugis. Yang pertama adalah bala bantuan untuk Kesultanan
Johor, dan yang kedua atas permohonan Sultan Aceh Darussalam.
Selain untuk Malaka, Ratu Kalinyamat juga pernah
melakukan hal yang sama bagi Maluku, yakni mengirimkan pasukan perang untuk
membantu Kerajaan Tanah Hitu, salah satu kerajaan Islam di Ambon, yang juga
sedang terancam oleh nafsu imperialisme Portugis.
Kasih Sang Ratu untuk
Melayu
Mengapa Ratu Kalinyamat sangat antusias mengulurkan tangan
kepada kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa, khususnya Melayu? Tentu saja ada
alasan kuat yang melatarbelakangi keputusan ratu Jepara ini mengirimkan pasukan
ke Malaka dari salah satu pusat peradaban Jawa.
Ratu Kalinyamat adalah putri Sultan Trenggono
dari istrinya yang merupakan anak perempuan Arya Damar, Adipati Palembang
(Dwitri Waluyo, Indonesia The Land of 1000 Kings, 2004:23).
Arya Damar memang bukan orang Melayu karena ia semula ditempatkan di Palembang
sebagai wakil Kerajaan Majapahit.
Ketika Majapahit runtuh menjelang abad ke-16,
Arya Damar tidak pulang ke Jawa dan memilih bertahan di bumi Sriwijaya, bahkan
kemudian menjadi sosok pemimpin yang disegani. Ma'moen Abdullah (1991:39) dalam
buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan menyebut nama Arya Damar
sangat terhormat di kalangan masyarakat Palembang.
Selain faktor kakeknya dari pihak ibu yang namanya harum di Palembang itu, perhatian Ratu Kalinyamat terhadap saudara serumpun Melayu juga tidak lepas dari sosok suaminya. Suami Ratu Kalinyamat itu diyakini putra Sultan Mughayat Syah, pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam pada 1514-1528 (Agus Dono Karmadi & Sunjata Kardarmadja, Sejarah Perkembangan Seni Ukir di Jepara, 1985:9).
Kalinyamat sendiri sebenarnya adalah nama
pemberian Sultan Trenggono untuk suami putrinya yang bernama asli Pangeran
Thoyib. Adapun nama gadis Ratu Kalinyamat sebelum menikah dengan pangeran Aceh
itu adalah Retna Kencana. Pangeran Thoyib datang ke tanah Jawa untuk
menyebarkan agama Islam.
Dendam Kesumat
Kalinyamat
Oleh Sultan Trenggono, kehadiran Pangeran
Thoyib diterima dengan baik, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri
kesayangannya dan diberi kewenangan memimpin (semacam bupati) wilayah pesisir
di sebelah timur Kesultanan Demak. Dari situlah berdiri daerah Kalinyamat
dengan pusatnya di Jepara yang dipimpin Pangeran Thoyib beserta istrinya.
Pada 1549, Pangeran Thoyib alias Pangeran
Kalinyamat tewas dibunuh orang-orangnya Arya Penangsang, Bupati Jipang Panolan,
yang melakukan perlawanan terhadap Demak. Setelah peristiwa itu, Retna Kencana
memakai nama Ratu Kalinyamat untuk menghormati almarhum suaminya (Andreas
Gosana, Warawiri: Life Consists of Endless Back and Forth Journeys in
Time, 2016).
Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat yang berhasil
selamat dari pembunuhan lalu bertapa di Gunung Daraja tanpa memakai secuil kain
di tubuhnya. Sang ratu bersumpah tidak akan berpakaian sebelum Arya Penangsang
mati dan ia akan menggunakan kepala otak pembunuhan suaminya itu sebagai keset
(Hayati, Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI, 2000:50).
Sumpah Ratu Kalinyamat itu nantinya menjadi
kenyataan setelah Arya Penangsang –yang sempat mengambil-alih takhta Kesultanan
Demak– terbunuh di tangan Sutawijaya alias Panembahan Senopati yang kelak
mendirikan Kesultanan Mataram Islam. Ratu Kalinyamat sendiri kemudian
melanjutkan peran suaminya sebagai pemimpin rakyat Jepara dan sekitarnya.
Gigihnya Ratu Jepara
Upaya pertama Ratu Kalinyamat dalam rangka mengusir Portugis
dari Nusantara dilakukan pada 1550 atau kurang dari setahun setelah suaminya
dibunuh. Dari pertapaannya, sang ratu yang tetap menjalin komunikasi dengan
orang-orang kepercayaannya agar pemerintahan di Jepara tetap berjalan, menerima
surat permohonan bantuan dari Kesultanan Johor yang sedang terancam oleh
Portugis di Malaka.
Dalam suasana masih berduka, Ratu Kalinyamat
mengabulkan permintaan tersebut dan menginstruksikan kepada para panglimanya
untuk mengirimkan 40 kapal perang yang mengangkut lebih dari 4.000 orang
tentara ke Malaka. Di sana, armada Jepara bergabung dengan Persekutuan Melayu
yang berkekuatan lebih dari 150 kapal (H.J. de Graaf, Awal Kebangkitan
Mataram, 2001:43).
Namun, pasukan gabungan itu ternyata masih kalah
dengan Portugis yang memiliki lebih besar dengan peralatan perang yang lebih
mutakhir. Dalam pertempuran di laut itu, armada Jepara mengalami kerugian
besar. Tidak kurang dari 2.000 prajuritnya gugur, ditambah terjangan badai yang
menghancurkan kapal-kapal kiriman Ratu Kalinyamat. Tidak banyak yang berhasil
selamat sampai kembali ke Jawa.
Kendati nyaris gagal total di percobaan pertama,
namun Ratu Kalinyamat belum menyerah. Ketika datang permintaan bantuan lagi
dari tanah Melayu pada 1573, kali ini dari Kesultanan Aceh Darussalam yang
merupakan tempat asal suaminya, sang ratu kembali mengirimkan pasukan.
Kali ini, armada tempur Jepara yang dikirim ke
Malaka jauh lebih besar. Ratu Kalinyamat memerintahkan salah satu panglima
perangnya, Ki Demang Laksamana, untuk memimpin 300 kapal dengan 15.000 orang
tentara. Namun, perjalanan armada kedua ke Malaka ini penuh rintangan sehingga
memakan waktu tempuh yang lebih lama dari yang diperkirakan.
Ketika tiba di Semenanjung Melayu, pasukan Aceh
Darussalam ternyata sudah dipukul mundur oleh Portugis. Armada Jepara kiriman
Ratu Kalinyamat pun menyerang Portugis tanpa bantuan. Hasilnya, 30 kapal Jepara
hancur.
Pihak Jepara mulai terdesak, namun menolak
berdamai. Sementara itu, sebanyak 6 kapal perbekalan yang datang belakangan
direbut Portugis. Kekuatan Jepara semakin lemah akhirnya memutuskan pulang.
Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja
yang bisa kembali ke Jawa.
Sebelum serangan kedua ke Malaka
itu, Ratu Kalinyamat sempat mengirimkan pasukan untuk membantu Kerajaan Tanah
Hitu di Maluku pada 1565 yang juga diserbu Portugis (Paramita Rahayu
Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan
Portugis di Indonesia, 2008:216). Lagi-lagi upaya ini mengalami
kegagalan.
Meskipun begitu, bangsa Portugis rupanya salut atas keberanian Ratu Kalinyamat
dan memberinya julukan Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de
kranige dame atau “Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya-raya dan
berkuasa, seorang perempuan yang gagah berani”. Ratu Kalinyamat wafat di Jepara
pada 1579./ HISTORIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar