SAAT ORDE BARU MENYUMBAT TINTA
Oleh : Islah Bahrawi
Media massa di zaman Orde Baru harus mempunyai SIUPP ( Surat
Ijin Usaha Penerbitan Pers . Surat inilah yang dijadikan moncong senapan untuk
membatasi dunia pers Indonesia. Selain SIUPP, kartu wartawan juga dijadikan
sandera. Wadah jurnalis ,PWI juga disetir oleh pemerintah dengan ancaman akan
mencabut kartu profesi bagi jurnalis
kritis. Dunia pers di zaman Soeharto, seperti pesawat yang diterbangkan dalam intaian bom. Diawasi
dari darat oleh pembajaknya , sekali keluar jalur, pesawat akan diledakkan
beserta seluruh isinya.
Pembredelan tiga media, Tempo, Detik dan Editor, paling awal
terkena tangan besi orde baru sebagai media. Akhirnya pada tahun 1996 beberapa
wartawan berusaha melawan dengan membentuk Aliansi Jurnalis Independen ( AJI )
yang dimotori oleh Goenawan Mohamad dan jurnalis seniornya. Dalam buku “ Wars
Within; The Story of Tempo, an independent Magazine in Soeharto’s Indonesia”,
Janet Steele, penulis memoir ini menceritakan perlawanan para jurnalis dengan
menggunakan media bawah tanah yang lokasinya dirahasiakan, belakangan diketahui
ternyata “ servernya “ berada di bilangan Blok M.\
Apa yang dialami oleh Tri Agus adalah bagian kecil dari
estafet pembungkaman oleh Rezim Soeharto sejak tahun 1969. Dari tahun ke tahun
hingga menjelang keruntuhannya, tulisan apapun yang mengganggu kekuasaan
Soeharto akan dianggap sebagai pembangkangan. Tempo adalah yang paling babak
belur mengalami pengekangan sejak tahun 1982.
Dunia pers kita dibesarkan dengan deraan dan hantaman Orde Baru.
Pasca Reformasi, ia menikmati kebebasannya yang sekarang telah bertukar
generasi. Jurnalisme kita diteruskan oleh pelaku yang telah membesar, “ sensor
motoriknya ” bongsor dalam kecanggihan lingkar capital. Sayangnya, ada
beberapa yang terlambat mentraformasi kisah pilu masa lalunya. Mereka melupakan
ontologi pembesarannya yang berdarah – darah dan sekarang menikmati kebebasan
itu untuk membajak pesawatnya sendiri.
Sebagian dunia pers kita sudah terbalik. Pemilih modal adalah
Rezim “ Orde baru “. Dewan Redaksi adalah “ menteri penerangannya “. Kita
pembaca, adalah yang dipenjara dalam agitasi keberpihakan. Kebebasan berlebih
telah membuatnya kehilangan “ tata karma “. Mereka melupakan dirinya sendiri
dan menguapkan sejarahnya begitu saja.
Tulisan singkat ini diambil dari IG@islah-bahrawi. Aktivis dan Pegiat Sosial ( untuk melawan lupa bahwa indonesia pernah dipimpin selama 32 tahun oleh diktator Rezim Otoriter )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar