Sabtu, 06 Juni 2020

SAAT ORDE BARU MENYUMBAT TINTA



SAAT ORDE BARU MENYUMBAT TINTA
Oleh : Islah Bahrawi

Media massa di zaman Orde Baru harus mempunyai SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers . Surat inilah yang dijadikan moncong senapan untuk membatasi dunia pers Indonesia. Selain SIUPP, kartu wartawan juga dijadikan sandera. Wadah jurnalis ,PWI juga disetir oleh pemerintah dengan ancaman akan mencabut kartu  profesi bagi jurnalis kritis. Dunia pers di zaman Soeharto, seperti pesawat  yang diterbangkan dalam intaian bom. Diawasi dari darat oleh pembajaknya , sekali keluar jalur, pesawat akan diledakkan beserta seluruh isinya.


Pembredelan tiga media, Tempo, Detik dan Editor, paling awal terkena tangan besi orde baru sebagai media. Akhirnya pada tahun 1996 beberapa wartawan berusaha melawan dengan membentuk Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) yang dimotori oleh Goenawan Mohamad dan jurnalis seniornya. Dalam buku “ Wars Within; The Story of Tempo, an independent Magazine in Soeharto’s Indonesia”, Janet Steele, penulis memoir ini menceritakan perlawanan para jurnalis dengan menggunakan media bawah tanah yang lokasinya dirahasiakan, belakangan diketahui ternyata “ servernya “ berada di bilangan Blok M.\
Apa yang dialami oleh Tri Agus adalah bagian kecil dari estafet pembungkaman oleh Rezim Soeharto sejak tahun 1969. Dari tahun ke tahun hingga menjelang keruntuhannya, tulisan apapun yang mengganggu kekuasaan Soeharto akan dianggap sebagai pembangkangan. Tempo adalah yang paling babak belur mengalami pengekangan sejak tahun 1982.

Dunia pers kita dibesarkan dengan deraan dan hantaman Orde Baru. Pasca Reformasi, ia menikmati kebebasannya yang sekarang telah bertukar generasi. Jurnalisme kita diteruskan oleh pelaku yang telah membesar, “ sensor motoriknya ” bongsor dalam kecanggihan lingkar capital. Sayangnya, ada beberapa yang terlambat mentraformasi kisah pilu masa lalunya. Mereka melupakan ontologi pembesarannya yang berdarah – darah dan sekarang menikmati kebebasan itu untuk membajak pesawatnya sendiri.

Sebagian dunia pers kita sudah terbalik. Pemilih modal adalah Rezim “ Orde baru “. Dewan Redaksi adalah “ menteri penerangannya “. Kita pembaca, adalah yang dipenjara dalam agitasi keberpihakan. Kebebasan berlebih telah membuatnya kehilangan “ tata karma “. Mereka melupakan dirinya sendiri dan menguapkan sejarahnya begitu saja.




Tulisan singkat ini diambil dari IG@islah-bahrawi. Aktivis dan Pegiat Sosial ( untuk melawan lupa bahwa indonesia pernah dipimpin selama 32 tahun oleh diktator Rezim Otoriter ) 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar