Kemajuan teknologi informasi yang berlanjut dengan pesatnya
perkembangan teknologi data merupakan keniscayaan yang mengubah peta ekonomi
dan politik dunia. Ancaman geopolitik, pertahanan dan keamanan pun berubah.
Hancurnya ibu kota ISIS di Mosul, karena serangan pasukan koalisi bersama Irak,
menjadikan perang global melawan ISIS pun berubah dari perang kota konvensional
menjadi perang proxy dan asimetris. Hal ini disebabkan menyebarnya para milisi
ISIS ke arah Asia, seperti beberapa waktu lalu dimana kalangan kaum radikal
melakukan teror di kota Marawi, Filiphina. Sangat mungkin, kejadian serupa akan
terjadi di berbagai negara seperti Afghanistan, Malaysia, Thailand atau
Indonesia.
Menghadapi kondisi ini, Presiden Joko Widodo sudah memberi
perhatian tentang pentingnya antisipasi perubahan visi dan strategi di bidang
pertahanan dan keamanan negara. Seperti yang disampaikan kepada 728 calon
perwira remaja Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Indonesia
(Polri) di Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta, 24 Juli tahun lalu, Presiden
menekankan perlunya diadakan alat utama sistim pertahanan ke arah yang berbasis
teknologi drone.
Tugas dan landscape perang masa depan yang berbeda dengan masa
lalu ini nampaknya mengharuskan teknologi virtual video warfare menjadi pilihan
utama. Teknologi ini sangat dimungkinkan untuk dapat mengantisipasi perang
proxy yang bersifat asimetris, terutama untuk menghadapi perang cyber. Maka
sangat tepat bila Presiden Jokowi berharap para perwira remaja kelak mampu
menguasai teknologi informasi beserta analisis teknologi datanya.
Seperti kita pahami bersama, di masa depan perang bukan lagi
memperebutkan wilayah atau komoditas yang berasal dari sumber daya manusia atau
alam. Namun komoditasnya sudah bergeser ke teror melalui paham ideologi dan
narkoba. Infrastrukturnya pun juga sudah memakai teknologi informasi, data
informasi, dunia hitam Cyber, Dark dan Deep Web , serta
media sosial sebagai media komunikasinya.
Melalui media sosial inilah penyebaran paham radikal di
Indonesia bergerak cepat dan bebas meski berbagai satuan pengamanan cyber telah
bekerja dengan keras. Perekrutan para calon ‘pengantin’, istilah untuk
melakukan bom bunuh diri, juga dilakukan melalui medium media sosial ini.
Sangat mungkin, melalui teknologi data yang mereka miliki, para elit ISIS telah
mampu memetakan daerah-daerah yang kondisi sosialnya tidak kondusif serta
memiliki komunitas yang ‘merasa’ keadilan sudah tidak lagi mereka dapatkan.
Era Post Truth
Kekuatan media sosial memang sudah menunjukkan keampuhannya.
Informasi yang berdasarkan fakta dan informasi palsu alias hoax sudah sulit
dibedakan. Tahun 2016, kamus Oxford, yang memfokuskan pada bahasa atau kata
modern yang kerap digunakan publik, menyebutkan bahwa informasi palsu atau hoax
menjadi hal yang populer di tahun itu. Hoax yang terus-menerus dilakukan secara
sistemik inilah yang kemudian mampu mengalahkan fakta dan kemudian melahirkan
istilah post-truth.
Post-truth, dalam difinisinya
adalah kondisi di mana fakta tidak berpengaruh lagi dalam membentuk opini
publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Singkatnya, orang tidak lagi
mempercayai fakta, mereka lebih meyakini keyakinan mereka atas suatu informasi
yang datang dari orang yang menurutnya layak untuk dipercaya dan dihormati. Dan
di era post-truth inilah yang kemudian menjadi eranya
kebenaran tak lagi dipercaya serta membuat perilaku serta keyakinan orang
berubah.
Fenomena post-truth akibat
maraknya media sosial menjadi relevan di Indonesia. Pidato dan pesan para elit
ISIS nun jauh di jazirah Arab yang menebar ideologi kekerasan dan kebencian
misalnya, diterima sebagian masyarakat kita sebagai pesan moral ulama agung
yang mesti diperjuangkan meski kematian menjadi taruhannya. Jalan pintas menuju
sorga setelah melakukan jihad dengan bunuh diri menjadi iming-iming yang
menjanjikan daripada hidup penuh kekalahan dan melelahkan. Fenomena post-truth negatif dan menghasut ini harus bisa
segera difilter dari media sosial jika tidak ingin indoktrinasi kekerasan ini
menimbulkan masalah pada kedaulatan negara kita.
Hipotesa riset Haroon Ullah, dosen tamu di School of Foreign
Service George Town University mengenai motif seseorang menjadi religious extremist sampai mau menjadi calon
pembawa bom bunuh diri atau ‘pengantin’, adalah Poverty (garis
kemiskinan) dan Ignorance (garis
kebodohan). Garis kemiskinan bekerja menggerogoti orang miskin (the poor)
hingga tampak tidak ada jalan keluar dan menumbuhkan kebencian terhadap mereka
yang memiliki lebih banyak (the have). Akibatnya, mati sebagai pahlawan (hero)
sebagai ‘jalan keluar dari kemiskinan’ adalah menjadi pilihan terbaik.
Garis kebodohan dimana orang miskin tidak punya kesempatan atas
pendidikan yang baik, juga mudah dimanipulasi oleh fenomena post-truth terkait prasangka yang penuh kebencian.
Ketika kelompok radikal dan ekstrimis ini bisa mendekati kalangan ini, maka
proses indoktrinasi untuk menjadi pasukan penebar teror akan lebih mudah.
Untuk membuktikan hipotesanya ini, Haroon Ullah tinggal di
Pakistan dan melakukan riset serta hidup bersama dengan para tokoh ekstremis
yang sedang mencari anggota baru. Ternyata dua hipotesa di atas yang terkait
sumber terorisme berdasarkan kemiskinan karena kurang pangan dan kebodohan
karena kurang bacaan belum tentu benar. Seperti halnya di Indonesia, kasus
penjual bakso yang membuat bom panci dan rela mati untuk tujuan jihad,
kenyataannya berasal dari kelas menengah dan mengenyam pendidikan tinggi. Jadi,
apa yang mendorong calon pengantin mudah diindoktrinasi dan direkrut menjadi
pengebom bunuh diri?
Paling tidak ada dua hal yang mengkondisikan hal tersebut. Pertama adalah keinginan seseorang akan
makna hidup (meaning) dan ketentraman (world order). Banyak negara dunia ketiga
seperti Pakistan berkubang dalam kekacauan (chaos) dan korupsi. Di negara
tersebut, banyak pemuka agama yang menjanjikan solusi tepat untuk mengatasi
permasalahan ini. Caranya dengan mengindoktrinasi bahwa calon pengantin harus
mengikuti ajaran agama Islam (post-truth) apabila ingin terjadi perubahan.
Kedua, adalah pengkondisian bahwa satu satunya jalan untuk menjawab
kerinduan akan terjadinya perubahan adalah dengan menumbangkan pemerintahan
yang legal tapi korup dan membuat pemerintahan baru yang bersih meski dengan
jalan aksi kekerasan. Melalui proses post-truth, si calon pengantin seolah
‘menjadi korban kebijakan pemerintah” sehingga rela menjadi ‘pengantin’ untuk
melawan antek pemerintah.
Menurut catatan sejarah, ternyata proses tersebut juga dilakukan
oleh pemimpin dunia seperti Lenin, Mussolini, Hitler hingga Osama Bin Laden.
Terkini, ISIS juga merekrut para pengikutnya untuk menjadi calon pengantin
dengan cara yang sama. Haroon selanjutnya dalam disertasinya menawarkan solusi
untuk mengatasi situasi tersebut. Yang pertama para pemangku kepentingan harus
berhasil membuang narasi palsu (post-truth) ini bahwa alasan utama menjadi
teroris adalah masalah kemiskinan dan pendidikan. Sedang yang kedua,
mempelajari post-truth yang
dibentuk oleh kelompok ekstrimis, bahwa janji surga dan kehidupan lebih baik
sebagai bentuk hoax atau berita palsu dengan menghadirkan fakta bahwa teror bom
lebih banyak membuat banyak kematian, kesengsaraan dan kemiskinan baru jika
mereka berhasil melakukannya. (*)/Tulisan ini diambil di Komite id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar