Badan Intelijen Negara atau biasanya disingkat BIN ialah salah
satu lembaga negara yang paling “berkabut” sekaligus kontroversial. Konon
kabarnya, Indonesia sudah memiliki Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang
kantornya pun tidak di publish ke khalayak umum.
Namun, dengan “berkabut” nya intelijen Indonesia menandakan
bahwa lembaga tersebut justru berhasil menjadi tak kasat mata di kalangan
masyarakat awam. Keberadaannya yang angker ini lah yang
menarik beberapa peneliti maupun sejarawan menuliskan tentangnya.
Salah satu peneliti yang pernah menuliskan BIN secara
“komprehensif” dan kerap dikutip banyak orang adalah Ken Conboy. Orang satu ini
termasuk lumayan hebat karena menulis dua buku lain mengenai permasalahan yang
sama sulitnya dengan menuliskan intelijen: Kopassus dan Jamaah Islamiyah dalam
dua buku yang berbeda (Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces dan The
Second Front). Perkara JI, bukunya lumayan menarik karena menyuguhkan
bahasan-bahasan yang kerapkali luput di mata sejarawan maupun peneliti di
bidang terorisme di Indonesia.
BIN saya sebut kontroversial karena masa lalu nya di zaman
Soeharto yang erat dengan dua nama: Ali Moertopo dan Leonardus Benjamin
Moerdani. Jika yang pertama suka membina gali, preman dan bromocora untuk digunakan
sebagai proxy nya, sedangkan yang kedua tersohor karena
membentuk banyaknya pembunuhan terhadap proxy dari yang
pertama.
Pembunuhan yang dilakukan oleh L.B. Moerdani ini nantinya
dikenal dengan nama “Petrus” (Penembak Misterius). Alat shock therapy dari
rezim Orde Baru untuk menjaga “stabilitas” nya.
Di kala Orba, BIN dikenal sebagai BAKIN (Badan Koordinasi
Intelijen Negara), di mana cerita-cerita dari masa lalu menekankan bahwa tidak
ada satu pun informasi yang tidak masuk atau keluar Indonesia tanpa melalui
BAKIN terlebih dahulu. Maka dari itu Orde Baru dijuluki sebagai Rezim Intelijen
oleh Busyro Muqoddas. Bisa dibilang intelijen adalah pondasi dari berdirinya
Soeharto sebagai presiden.
Namun kilas balik sejarah intelijen justru tidak dimulai dari
L.B. Moerdani maupun Ali Moertopo. Lembaga ini dirintis oleh seseorang bernama
Zulkifli Lubis yang pernah dididik di PETA (Pembela Tanah Air), di mana
pembentukan intelijen dilakukan dengan kedua temannya: Daan Mogot dan Kemal
Idris, dibantu oleh mantan instrukturnya, Kapten Yanagawa.
Kala itu, intelijen Republik Indonesia disebut sebagai Badan
Istimewa yang banyak merekrut mantan tentara yang dididik oleh Jepang. Mereka
dilatih oleh Lubis sendiri dan bermarkas di Jalan Pejambon.
Materi pelatihan tersebut adalah combat intelligence,
yakni meliputi informasi, sabotase dan perang urat syaraf. Setelah usai
pelatihan, para anggota Badan Istimewa mendapatkan julukan “Penjelidik Militer
Choesoes” (Penyelidik Militer Khusus / PMC) dan disebar ke seantero Jawa dengan
tugas mencari dukungan untuk pemerintah Indonesia dan menagwasi sekaligus
melaporkan gerak-gerik musuh.
Menurut Matanasi, PMC terkenal sebagai tukang sweeping,
jika digambarkan, mungkin mirip dengan Gestapo (Geheime Staatspolizei),
Polisi Rahasia di Jerman semasa Partai Nazi berkuasa.
Salah satu anggota PMC di Sulawesi Selatan adalah Abdul Kahar Muzakkar yang
membangun Darul Islam di daerah tersebut dan juga Sutopo Juwono yang nantinya
akan menjadi pimpinan BAKIN ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan.
Permasalahan intelijen ini nampaknya juga diminati oleh Menteri
Pertahanan bernama Amir Sjarifuddin dan membentuk Kementrian Pertahanan Bagian
B (disingkat Bagian B). Lembaga ini memiliki beberapa tugas intelijen: Militaire
Combat Intelligence, Civiel Combat Intelligence, Militaire
Counter Intelligence, dan lain sebagainya.
Penulis juga menguraikan secara singkat mengenai tugas-tugas
intelijen tersebut. Menariknya, Bagian B turut memiliki Biro Investigasi nya
yang menangani permasalahan penyelidikan.
Selain melihat dari tindakan yang dilakukan oleh intelijen
Indonesia di masa kemerdekaan dengan berbagai namanya, Petrik Matanasi juga
menguraikan beberapa tindakan Belanda dalam menghadapi intelijen tersebut.
Akan tetapi bahasan tersebut tidak sebanyak ualasan penulis
mengenai tindakan intelijen Indonesia saat itu, termasuk melakukan pengintaian
terhadap anggota Tentara Republik Indonesia (TRI) dan juga Angkatan Laut
Republik Indonesia (ALRI).
Nampaknya Indonesia sempat menghadapi dualisme intelijen, di
mana Amir Sjarifuddin memiliki Bagian B, sedangkan dibawah Presiden Soekarno
ada BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia).
Demi menghindari dualisme maka keduanya dibubarkan, lalu
dibentuklah badan baru dari kedua elemen tersebut bernama Kementerian
Pertahanan Bagian V atau KP-V yang tetap dibawah Amir Sjarifuddin selaku
Menteri Pertahanan pada 30 April 1947, namun lembaga ini dipimpin oleh
Abdoelrachman.
Penggabungan dari dua unsur intelijen tersebut terbukti
merugikan Zulkifli Lubis yang menjadi bawahan dari Amir dkk, sehingga ia tidak
lagi melapor langsung kepada presiden. Mengutip dari Conboy, kelihatannya
penulis buku ini sepakat dengan sebutan Conboy bahwa era Abdoelrachman ini
adalah masa suram intelijen Indonesia, dimana KP-V terlalu sarat dengan
kepentingan politis.
Gelanggang intelijen Indonesia memang kerap di dominasi oleh
kelompok militer dan kepentingan politik, hal ini yang perlu kita pahami
sehingga sipil tidak juga bisa berkembang diranah tersebut. Inilah pentingnya
buku mungil terbitan Publisher Kendi ini, sebagai pintu masuk kita mengenal
dunia intelijen di Indonesia di masa lampau.
Meskipun beberapa kata mungkin terlihat kurang familiar (seperti
penggunaan “aku” ketimbang “ujar”), namun buku ini menggunakan bahasa yang
cukup populer sehingga bisa dinikmati berbagai kalangan (dan karena harganya
terjangkau).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar